INDOWORK.ID, JAKARTA: Pada kenyataannya Tuhan menciptakan alam semesta dan semua makhluk di dalamnya. Meskipun Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, tapi nenek moyangnya tetaplah satu.
Dalam perbedaan ini, manusia memiliki sifat/karakter baik atau jahat. Jangan berasumsi bahwa sayalah yang terbaik, terpintar, dan tersuci.
Semua orang memiliki kebebasan menilai orang lain dari perbuatan dan ucapannya. Harry Tanugraha mengingatkan bahwa janganlah selalu menilai/menghakimi orang lain. “Tidak akan ada waktu/kesempatan bagimu untuk memahami dan mencintainya. Hanya Allah yang dapat menilai hati manusia,” ujar Harry.
Banyak orang berusaha mempercantik penampilan, tetapi tetap saja kebaikan hatinya tidak tampak. Hati seseorang adalah tempat tertanamnya keimanan, keyakinan, dan ketakwaan seseorang.
Kemajuan teknologi, termasuk teknologi informasi dan produk turunannya, memengaruhi kehidupan manusia saat ini. Berbagai berita tersebar luas dengan cepat dan saling menimpali. Bahkan berita yang menyebabkan timbulnya penyakit masyarakat.
Selain itu, ujaran kebencian merebak makin subur dan menonjolkan sikap egoisme pembenaran diri sendiri sebagai orang yang paling bersih dan paling pintar.
MENGENAL DUNNING KRUGER EFFECT
Harry mengingatkan masyarakat mengenai Dunning Kruger Effect. Dalam ilmu psikologi, orang yang sok pintar ini dikategorikan terkena Dunning Kruger Effect. Ia merasa unggul dari segi pengetahuan/kemampuan yang dimilikinya tetapi tidak sadar bahwa hal itu tidak demikian adanya.
Menurut pakar psikologi sosial dari Amerika Serikat, David Dunning dan Justin Kruger, orang ini bias kognitif atau keliru menilai/berpikir tentang kemampuan yang dimilikinya. Hal Ini karena ia memiliki kesadaran diri yang buruk dan/atau kemampuan kognitif yang rendah.
Ciri-ciri orang-orang yang terkena Dunning Kruger Effect adalah: sering mengoceh, berulang kali berbicara panjang lebar tentang suatu topik, serta menyatakan diri paling benar dan orang lain semua salah.
Kepercayaan diri orang-orang ini sangat tinggi dan sukar menerima kritik/saran orang lain, karena merasa diri paling benar. Mereka gemar meremehkan orang lain dan gampang marah jika dikritik. Mereka suka membual, mencatut kata-kata orang lain, dan selalu ingin disanjung/dipuji.
Selama masih mendapat dukungan, mereka sukar diperbaiki. Namun jika mereka bisa sadar dan mengurangi egoisme mereka, mereka dapat dilatih untuk mau berintrospeksi dan akhirnya bersedia mendengar pendapat orang lain.
BAGAIMANA MENGHADAPINYA?
Menghadapi “penyakit masyarakat” ini, kita perlu menciptakan pembatasan komunikasi dengan orang-orang yang sok pintar dan egoistis ini.
Jika membiarkan hal ini, dampak negatifnya cepat menyebar dan akhirnya menimbulkan keresahan dan gejolak sosial. Dampak dari gejolak ini antara lain: menjamurnya ucapan/sikap kebencian dalam masyarakat, hilangnya ketenangan dan keharmonisan dalam bekerja, serta tergerusnya kepatuhan dan disiplin kerja dalam hubungan pimpinan dengan bawahan.
“Sadarlah juga, jangan engkau selalu menghakimi orang lain, supaya engkau tidak dihakimi. Dan ingatlah: “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yakobus 3;16),” ujar Harry.
Dalam suasana pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung, marilah kita semua berusaha menciptakan ketenangan dan kesejukan, sehingga dampak negatif pandemi ini dapat berlalu dan kehidupan bermasyarakat menjadi tertib, teratur, dan disiplin, agar gejolak negatif ekonomi dapat diatasi.
Pertamedika IHC Luncurkan Sistem Layanan Berbasis Cloud