Headline Lainnya

Kitab Sakti Folklor Betawi



single-image

Andai Jan Harold Brunvand membaca, boleh jadi ia akan setuju bahwa kitab berjudul “Betawi Megapolitan: Merawat Jakarta Palang Pintu Indonesia” adalah ‘Kitab Sakti Folklor Betawi’, apa sebab? Lantaran, jika kita membaca kitab ini, apa yang dulu menjadi cerita rakyat hingga tradisi masyarakat Betawi seperti dibangkitkan kembali. Hampir seluruhnya terdokumentasi dalam kitab ini.

Folklor secara singkat dapat diartikan sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun dengan cara tradisional. Folklor ini biasanya tidak terdokumentasikan secara tertulis.

Sebelum berlanjut, siapa sih Jan Harold Brunvand ini? Apa pula pentingnya kakek kelahiran 1933  (usia 88 tahun) ini? Bagi pemerhati dunia anthropologi yang meneliti tradisi rakyat (folklore), Brunvand bukan orang sembarangan. Ia adalah profesor emiritus alias pensiunan profesor (bukan profesor kehormatan) dari University of Utah, Amerika Serikat.

Brunvand dikenal sebagai folklorist. Saking tersohornya, banyak peneliti bidang anthropologi ataupun budaya, menggunakan temuannya sebagai rujukan. Apa pula temuan lelaki yang mendapat julukan Mr. Urban Legend ini?  Dalam dunia folklor, ia membagi dalam 3 golongan besar; lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

Nah, dengan ketiga golongan besar itu, folklor Betawi dapat dijumpai dalam kitab setebal 486 halaman. Golongan lisan misalnya. Seperti banyak diakui para peneliti tentang kebetawian, mencari tradisi Betawi, bisa pula dilihat dari folklor lisan yang diturunkan secara turun temurun.  Ada pantun, puisi bahkan juga cerita rakyat yang memuat kearifan lokal atau memiliki makna positif tertentu.

Contoh penulisan folklor lisan yang dibakukan dalam buku ini, adanya peribahasa ‘Segale harta benda nggak bakal dibawa mati’. Kalimat ini mengajarkan, bagaimana hidup di dunia bukanlah tujuan utama. Banyaknya harta benda tidak berguna bila tidak dimanfaatkan untuk tujuan akhirat, sehingga  “…orang Betawi akan begitu mudahnya melepas tanah atau menjual tanah untuk mencapai tujuan mulia..” (hal 87-88).

Tradisi lisan lain yang juga ditulisakan pada kitab ini, adanya cerita siluman penjaga sumber air di Tanah Betawi. Pada masyarakat Betawi dahulu kala menjaga sumber-sumber air, mulai sungai, mata air hingga setu (danau), dimunculkan cerita yang menyeramkan. Tujuannya, agar siapapun yang punya niat buruk akan menghadapi makhluk halus tersebut ataupun ketulah. Hal inilah yang kemudian memunculkan sosok siluman buaya atau aji putih nagaraksa  (buntung, putih dan merah) yang diyakini dapat ‘melibas’ siapa saja yang hendak merusak sumber air itu (lihat halaman 142-143).

Lalu, folklor golongan kedua, sebagian lisan, juga banyak dituliskan dalam kitab ini. Misalnya yang termaktub pada halaman 359, perihal upacara  selamaten nani alias “upacara yang diselenggarakan pada waktu memulai pekerjaan di sawah, sejak membajak, menyebar benih, nandur (menanam padi), matun, memilihara, sampai panen dan membawa padi yang hendak di simpan di lumbung.” Kalimat itu kemudian dijabarkan secara perinci, bagaimana masyarakat petani Betawi melakukan ritual pertanian. Ada jampe-jampe hingga menyiapkan aneka sajen.

Pun demikian folklor golongan ketiga; bukan lisan. Berbagai contoh dituliskan dalam kitab ini. Tentang bagaimana makna dari hiasan rumah gigi balang yang menyiratkan relasi mikro dan makro kosmos. Bentuk gigi balang adalah segitiga sama kaki yang melambangkan relasi alam manusia, alam nonmanusia dan alam ketuhanan (Hal 108) menjadi salah satu contohnya. Begitupun dengan letak ruang dan kamar dalam rumah serta bagaimana masyarakat Betawi membagi sedikitnya tiga area kala membangun rumah. Ada area publik, semipublik dan privat.

Pembahasan dalam kitab ini memang diperinci secara detail. Kemampuan memperinci Yahya Andi Saputra, penulisnya, bukan didapat tanpa bekal. Yahya adalah Kepala Bidang penelitian dan pengembangan pada organisasi Lembaga Kebudayaan Betawi. Ia bukan orang baru dalam dunia tradisi Betawi.

Kelahiran 5 Desember 1961 ini juga dikenal sebagai budayawan Betawi yang meraih Magister Susastra (Kajian Tadisi Lisan) dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Sejak tahun 2002 ia sudah menelurkan berbagai macam buku tentang kebetawian. Antara lain Jampe Sayur Asem (2017) yang berisi tentang puisi ‘beraroma betawi’, Antologi Puisi Pandemi, Gabin Barandan, Angin Ombak dan Gemuruh Rindu, Gambang Semarang, Alumni Munsi Menulis, Rantau dan Cerita dari Dapur.

Kitab “Betawi Megapolitan: Merawat Jakarta Palang Pintu Indonesia” terbitan Pustaka Kaji yang merupakan member of Lahyanto Network (2021) ini, boleh dibilang sebagai dokumentasi lengkap mengenai tradisi Betawi yang selama ini masih berupa folklor lisan, sebagian lisan dan non lisan.

Seluruh isi dari buku ini merupakan hasil penelitian Yahya Andi Saputra yang dipresentasikannya di Institute for Humanity and Nature (RIHN), Inter-University Research Institute Corporation, National Institutes for Humanities, Kyoto, Jepang. Saat itu, ia sebagai Visiting Research Fellow yang diminta untuk menampilkan ‘wajah’ Jakarta atau Betawi sebagai Megapolitan. Tak ayal, buku ini pun memuat berbagai macam tradisi lisan, sebagian lisan dan non lisan pada masyarakat Betawi lengkap dengan berbagai macam contoh kesehariannya.

Kalaupun ada perbaikan, rasanya bukan perkara konten, tetapi lebih pada salah ketik alias typo pada beberapa lembar dalam buku ini yang cukup ‘mengagetkan’ kala sedang asyik membacanya. Tak mengapa, toh itu bukan sesuatu yang signifikan bila dibandingkan dengan isi yang komplet.

Lantaran isi merupakan ‘jantung’ dari setiap buku. Karenanya siapapun yang ingin mengenal, memahami dan mengerti bagaimana masyarakat Betawi dulu, kini dan masa depan, kiranya dapat menjadikan buku ini sebagai ‘Kitab Sakti Folkor Betawi’.

Pergi mengaji bekelin roti
Roti buaya jumlahnya dua
Jadi Betawi tidaklah mesti
Tetapi budaya wajib dijaga

(Ampera, Dzulqaidah, 1442 H)

Sumber: https://betawipedia.com/2021/06/21/kitab-sakti-folklor-betawi/

Berita Lainnya