INDOWORK.ID, JAKARTA: United Nations Watch (UNWatch) telah memasukkan Indonesia ke dalam daftar 15 negara yang memalukan (List of Shame). Hal ini karena Indonesia memilih “No” dalam pemungutan suara terhadap draft agenda Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Tanggung Jawab untuk Melindungi dan Pencegahan Genosida, Kejahatan Perang, Pemusnahan Etnis dan Kejahatan Kemanusiaan atau Responsibility to Protect and the Prevention of Genocide, War Crimes, Ethnic Cleansing and Crimes Against Humanity (R2P).
Banyak kalangan, termasuk Amnesty Internasional dan berbagai elemen masyarakat Indonesia, menyayangkan sikap inkonsistensi Indonesia tersebut, mengingat beberapa hari sebelumnya Indonesia mengutuk keras tindakan kekerasan Israel terhadap Palestina yang penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia. Apa sesungguhnya alasan Indonesia mengambil sikap “No” tersebut? Apakah alasan tersebut kuat?
TIGA ALASAN
Setidaknya ada tiga alasan resmi mengapa Indonesia mengambil sikap “No” yang dapat dilihat dari dokumen resmi delegasi Indonesia yang berjudul Explanation of Vote before the Vote.
Pertama, R2P tidak memerlukan agenda tahunan tersendiri karena agendanya sudah ada sebagai mandat dari the 2005 World Summit Outcome document, the General Assembly Resolution A/60/1.
Kedua, setiap pernyataan atau ide-ide dalam rangka memperkaya konsep R2P tidak boleh keluar dari parameter yang sudah ditentukan dalam dokumen Resolusi A/60/1 tersebut.
Ketiga, sikap “No” tersebut tidak berarti bahwa Indonesia menentang konsep R2P. Dengan kalimat lain, sikap Indonesia tersebut hanya terkait dengan prosedur dan bukan substansi.
Sikap Indonesia tersebut mungkin benar, cukup rasional dan telah memperhitungkan kepentingan Indonesia, tetapi kurang begitu kuat dan kurang begitu strategis, bahkan menjadi blunder. Agenda Pengembangan konsep R2P telah berjalan cukup lama, tentu memerlukan penyegaran agar konsep tersebut beradaptasi dengan kondisi kekinian. Bagaimana masyarakat internasional sangat tidak berdaya untuk melindungi kaum Uighur di China, Etnis Rohingya di Myanmar, dan orang-orang Palestina.
INOVASI DAN REFORMASI AGENDA
Kesemua itu sangat sulit kalau hanya mengandalkan agenda-agenda lama dengan konteks masa lalu. Oleh karena itu sangat penting untuk mengubah, menemukan inovasi dan bahkan reformasi agenda. Kalaupun ada kekhawatiran bahwa dengan adanya agenda tersendiri akan memunculkan gagasan-gagasan dan ide-ide yang keluar dari kerangka Resolusi A/60/1, tugas Presiden Majelis Umumlah untuk mengarahkan persidangan dan Indonesia bisa mengajukan keberatan.
Adapun alasan Indonesia memilih sikap “No” hanya menyangkut hal prosedural dan bukan substantif, ini justru logika yang terbalik. Seharusnya Indonesia menentang hal-hal yang sifatnya substantif, yang sekiranya akan merugikan kepentingan Indonesia, dan bukan yang teknis prosedural. Tidak ada kerugian sedikit pun jika substansi R2P dibahas dalam agenda yang sudah berjalan bertahun-tahun ataupun dalam agenda tersendiri.
Ketiga alasan tersebut sangat lemah dan sepertinya ada alasan lain yang sesungguhnya yang tersembunyi. Tentu sangat sulit untuk menduga-duga, hanya yang punya otoritas tertentu yang tahu, tetapi setidaknya ada implikasi hipotetis jika pembahasan R2P dibuatkan agenda tersendiri, ada kemungkinan pembahasan R2P akan melebar. Jika dilihat dari negara-negara yang masuk dalam 15 negara yang memalukan tersebut adalah negara-negara yang memang mempunyai masalah dalam pelanggaran hak asasi manusia, misalnya Korea Utara dengan kekejamannya terhadap rakyatnya, China dengan masalah Uyghur, dan lain-lain.
MASALAH HAM YANG TERSISA
Harus diakui Indonesia pun masih menyisakan beberapa masalah hak asasi manusia yang belum terselesaikan, termasuk dan terutama masalah Papua. Apakah ada keterkaitan, sekali lagi, hanya otoritas tertentu yang tahu dan tentunya sudah mempertimbangkan kepentingan Indonesia di PBB. Kalaupun iya, justru Indonesia harus memanfaatkan forum PBB baik di Majelis Umum maupun di Dewan Keamanan untuk lebih menjelaskan dan lebih menguatkan kedaulatan Indonesia secara de jure atas Papua.
Pilihan “No” terhadap agenda-agenda PBB apapun termasuk yang terkait dengan R2P merupakan hak Indonesia. Pilihan ini pun tidak mempunyai implikasi hukum yang kuat, tidak mempunyai kekuatan mengikat, karena hanya berada pada ranah soft law, bukan hard law. UNWatch-pun bukan lembaga resmi PBB. Meskipun demikian, pilihan “No” untuk hal yang teknis prosedural sangatlah tidak strategis, justru blunder, menghasilkan implikasi politis berupa imej dan opini dunia yang negatif. Masuk dalam daftar negara-negara yang memalukan sungguh memalukan.http://watyutink.com
Membuka Kearifan Betawi, Palang Pintu Indonesia