Bisnis Headline News

APBN Defisit, Tarif PPN Dibidik



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Pemerintah terus berutang dengan dalih kebutuhan mendesak untuk mendanai pemulihan ekonomi, mengatasi resesi, dan menanggulangi dampak pandemi Covid-19 sehingga jumlahnya makin meningkat dan diperkirakan akan mencapai Rp10.000 triliun pada akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2024.

Indonesia akan terjerat dalam jebakan utang tak berkesudahan jika tidak ada terobosan kebijakan yang bisa menyelamatkannya. Salah satu upaya penyelamatan adalah dengan meningkatkan penerimaan negara. Pilihannya ada pada pajak yang selama ini menjadi sumber terbesar penerimaan negara.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dibidik untuk menaikkan penerimaan negara. Tarifnya akan ditingkatkan dari 10 persen pada saat ini menjadi 15 persen. Rencana ini pertama kali muncul dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat memaparkan rencana APBN 2022. Menurutnya, salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan negara adalah kenaikan PPN.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, pun membenarkan ada rencana kenaikan tarif pajak tersebut. Ini adalah salah satu solusi mengumpulkan penerimaan yang lebih baik di tengah kondisi sulit ini.

Pemerintah tengah membahas untuk skema tarif yang akan dikenakan. Ada dua skema yang disiapkan yakni single atau multi tarif. Jika single tarif maka batasan maksimal PPN bisa naik sampai 15 persen sesuai UU PPN tahun 2009. Namun jika multi tarif maka akan ada perbedaan pajak untuk jenis barang yang berbeda seperti barang reguler dan barang mewah. Untuk yang satu ini harus ada revisi dari UU yang ada.

Pemerintah mengklaim mempertimbangkan banyak hal sebelum menaikan tarif PPN, termasuk kondisi ekonomi masyarakat yang diperkirakan akan mulai pulih. Pemerintah menargetkan pemulihan ekonomi mulai terjadi pada tahun ini, setelah tertekan sangat dalam akibat pandemi Covid-19.

Pemulihan ekonomi akan berdampak bagi peningkatan pendapatan masyarakat. Dunia usaha yang sempat terpuruk juga kembali bangkit. Untuk itu pemerintah melakukan upaya penyeimbangan keseluruhan momentum pemulihan. Di saat pendapatan masyarakat dan dunia usaha membaik, belanja negara mendorong pertumbuhan, utang dikonsolidasikan dan dimoderasi, dan penerimaan pajak ditingkatkan.

Bisa dikatakan menyeimbangkan keseluruhan momentum pemulihan tersebut adalah sebuah sebuah seni yang jika dimainkan dengan baik akan menghasilkan karya agung yang dinikmati banyak orang. Namun jika tak piawai memainkannya, hasilnya akan sumbang dan menambah kekisruhan.
Ada beberapa risiko yang perlu dikaji secara mendalam oleh pemerintah berkaitan dengan rencana menaikkan tarif PPN. Yang paling langsung adalah naiknya harga barang-barang dan konsumen yang menjadi korbannya.

Kenaikan tarif PPN berdampak pada harga barang yang semakin mahal. Kenaikan harga akan semakin menurunkan daya beli masyarakat. Dengan penurunan daya beli maka konsumsi masyarakat akan kembali lemah, berdampak juga pada pertumbuhan ekonomi, karena penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dari konsumsi masyarakat.

Dari sisi waktu, kenaikan PPN kurang tepat. Saat ini, daya beli masyarakat masih sangat rendah akibat krisis yang berkepanjangan. Memang segelintir masyarakat masih mempunyai daya beli, tetapi itu pun memerlukan pancingan untuk mau berbelanja, yakni dengan relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mobil yang membuat masyarakat belanja. Namun, kunci pemulihan ekonomi pada relaksasi, bukan menaikkan tarif pajak.

Menaikkan tarif PPN akan menurunkan daya beli masyarakat sehingga terjadi penurunan pembelian. Akibatnya terjadi stagnasi, bahkan penurunan di industri. Permintaan dan produksi oleh industri berkurang.
Rakyat Indonesia belum mampu untuk menyerap kenaikan harga yang diakibatkan oleh kenaikan tarif PPN. Di masa pandemi, daya beli masyarakat belum pulih. Pemerintah justru masih harus melindungi masyarakat untuk bisa meningkatkan daya belinya.

Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sejak 2019 stagnan. Hal ini dapat diartikan belum ada perbaikan dalam hal daya beli masyarakat. Mandeknya kesejahteraan bangsa Indonesia bahkan diperkirakan akan berlanjut sampai tahun depan. PDB per kapita Indonesia masih berada di kisaran 4.300 sampai 4.400 dolar AS sampai 2022.

Risiko lain jika tarif PPN yang saat ini sebesar 10% dinaikkan menjadi 15% maka akan melemahkan daya saing Indonesia. Tarif PPN yang berlaku saat ini di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara lain di Asean, sehingga investor akan lari jika dinaikkan.

Pemerintah harus arif. Jangan karena terdesak untuk menutup defisit APBN, PPN dibidik untuk menaikkan penerimaan negara. Perlu dipertimbangkan dengan matang agar rencana menaikkan tarif PPN tidak menjadi bumerang bagi pemerintah, merugikan rakyat, dan berdampak buruk bagi perekonomian nasional.

sumber: http://watyutink.com

 

Berita Lainnya