INDOWORK.ID, JAKARTA; Masyarakat Jalan Tol Indonesia (MJTI) mengkritisi kebijakan yang mengenakan biaya administrasi transaksi (merchant discount rate/MDR) dalam pemrosesan transaksi uang elektronik sebesar 0,5 persen di jalan tol.
“Ini kebijakan yang tidak berdasar dan kontraproduktif dengan pembangunan. Harus segera dievaluasi untuk direvisi,” kata ketua MJTI. Untung Kurniadi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Dalam sebuah webinar “Membangun Konektivitas Transportasi Indonesia”, Untung mengatakan, betul bahwa membangun jalan tol bukanlah perkara yang mudah, karena selain harus didukung oleh modal yang besar juga pengembalian investasinya pun relatif panjang.
Namun, dengan penerapan tarif MDR tersebut akan berdampak pada masuknya biaya tersebut ke dalam investasi Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang akhirnya dibebankan kepada masyarakat.
Untung berharap, Keputusan Deputi Gubernur BI Nomor 23/1/KEP.DpG/2021 tentang penetapan skema harga merchant discount rate (MDR) dalam pemrosesan transaksi uang elektronik berbasis cip (chip based) untuk reguler sebesar 0,5 persen itu dapat direvisi.
“Kebijakan ini tidak pro pembangunan dan tidak mendukung kebijakan Pemerintah dalam menerapkan sistem tol nirsentuh di seluruh Indonesia,” kata Untung yang juga Ketua Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (KMMIHUGM) Jakarta 2019-2020.
Diketahui, dalam regulasi yang diteken Deputi Gubernur BI Sugeng tanggal 19 Februari 2021 yang sudah mulai diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2021 itu mengatur distribusi skema harga MDR untuk transaksi uang elektronik berbasis cip seluruhnya menjadi pendapatan pengelola (acquirer) yang merupakan penerbit uang elektronik chip based.
Secara sederhana, bank bakal mendapatkan pendapatan dari transaksi uang elektronik berbasis cip atau kartu. Saat ini, terdapat empat kartu uang elektronik yang diterbitkan bank yakni e-money Bank Mandiri, Flazz BCA, TapCash BNI dan Brizzi milik Bank BRI.
Bisnis pembayaran jalan tol kini memang hanya melibatkan dua pihak yaitu penerbit uang elektronik dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai merchant. Agar uang elektronik bisa diterima sebagai alat transaksi, penerbit mesti menanggung sebagian biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan BUJT misalnya membangun gardu eletronik, mesin pembaca kartu, dan sebagainya.
Sementara pendapatan penerbit berasal dari dana menganggur (floating money) saldo uang elektronik, maupun komisi isi ulang saldo. Seluruh uang yang ditransaksikan oleh masyarakat pengguna uang elektronik berbasis cip ini akan diterima oleh merchant sepenuhnya.
Mengacu catatan Bank Indonesia, 90 persen uang elektornik berbasis cip memang dikontribusikan dari pengguna tol. Meski demikian pangsa pasar uang elektronik berbasis cip memang terhitung kecil hanya 9 persen. Sisanya dikuasai uang elektronik berbasis server. Sementara sampai Oktober 2020 volume transaksi uang elektronik mencapai Rp3,781 miliar dengan nilai mencapai Rp 163,433 triliun.
Kisah Inspiratif Bang Latif, Betawi Muda Jual Kambing, Sapi, dan Kerbau