INDOWORK.ID, JAKARTA: Praktisi pasar modal Hasan Zein Mahmud menilai saham ARTO sungguh ruaarrr biasa! Dari harga IPO Rp132 lima tahun lalu, mencapai harga tertingginya di Rp 11.900 awal tahun ini. Kenaikan hampir 100 kali lipat dalam kurun waktu 5 tahun. Lebih fenomenal ketimbang saham TSLA. Lebih spektakuler dari BERK.A yang harga sahamnya pernah mencapai USD 4,000 per saham.
ARTO memang spektakuler. Dari bank papan bawah yang tidak dilirik, menyodok menjadi saham berkapitalisasi di atas Rp 100 triliun. Menyalip BBNI, BRIS, INDF dan CPIN dan banyak lagi. Meraup lebih dari Rp 7 triliun dari emisi HMETD yang jadi rebutan.
ARTO memang fantastis. Menggunakan PBV sebagai tolok ukur konvensional sektor perbankan, PBV ARTO lebih dari 100 x. Price Earning Ratio nya minus 651 x . NPM nya minus 164 % (pinjam RTI)
“Saya jujur sama sekali tidak berani membeli saham ARTO. Ilmu saya belum sampai ke tingkat itu. Boleh jadi tolok ukur konvensioanl tak layak digunakan untuk bank digital. Boleh jadi perusahaan rintisan, atau “dirintis secara sistematis” memang memiliki potensi pertumbuhan eskponensial,” kata Hasan kepada Indowork.id, Ahad, 14 Maret 2021.
DARI GOJEK HINGGA TOKOPEDIA
Boleh jadi pengguna jasa Gojek yang berjumlah 38 juta akan serta merta menjadi nasabah ARTO, lalu ditambah dengan pengguna jasa Tokopedia, sehingga nasabah ARTO akan jauh melampaui jumlah nasabah bank manapun di Indonesia. Boleh jadi tiap nasabah akan mengendapkan saldonya di ARTO dalam rata rata tidak kurang dari US$700. Boleh jadi pelanggan Gojek dan Tokopedia sebagian besar akan menjadi debitur ARTO, tanpa macet. Boleh jadi kumulatif kerugian selama empat tahun terakhir, akan segera ditutup dengan keuntungan seketika, begitu ARTO berkawin dengan Gojek.
Masih banyak boleh jadi yang lain. “Saya lebih memilih yang konvensional konvensional saja. Ilmu saya baru mampu mendekati tingkat itu. Untuk mulai dengan transparansi, saya perlu mendisclose bahwa 50 % nilai portfolio saya ditempati oleh saham TLKM. Mungkin ada kaitannya juga dengan gegap gempita ARTO. Karena TLKM punya andil di Gojek. Dan Gojek punya penyertaan di LINKAJA. Siapa tahu TLKM ikut kecipratan berkah ARTO,” kata Direktur Utama PT Bursa Efek Jakarta 1992-1996 tersebut.
Memilih TLKM membuktikan bahwa analisisnya masih sangat konvensional. “Ilmu saya baru sampai ke tingkat itu,” katanya merendah.
Dalam imajinasi Hasan, TLKM itu punya beberapa keunggulan.
Pertama, berada di industri yang strategis dan punya posisi leading dalam industri itu.
Kedua, memiliki jaringan dan infrastruktur yang tidak akan terkejar oleh peers. Kecuali TLKM jalan di tempat.
Ketiga, memiliki barisan “cash cow” yang lengkap dan subur kalau dikelola dengan apik. Ada Telkomsel, Indihome, Mitratel, MDI Ventures, Link Aja dst. Keempat, struktur yang gendut, lamban dan tidak efisien, nampaknya sedang dibenahi dengan serius.
“Boleh jadi ARTO ditakdirkan menjadi distributor harta karun jaman modern. Saya nonton saja di pinggiran. Sambil berceloteh sebagai penonton yang terpesona!” kata investor yang bermukim di Jogjakarta itu.
Ini Dia Kebijakan Yang Ubah Lanskap Industri Otomotif Era Orde Baru