INDOWORK.ID, JAKARTA: Untuk memperoleh rasa aman, masyarakat Betawi dengan bimbingan dedengkot, melakukan musyawarah atau urun-rembuk. Musyawarah itu pertama-tama membeberkan kondisi sosial ekonomi lingkungan yang sebenarnya. Adakah warga yang mengalami problem kehidupan, siapa saja warga yang tidak ada di lingkungan, siapa saja yang menjadi tamu, dan untuk keperluan apa.
Jika kondisi lingkungan bergelagat tidak harmonis atau ada ancaman dari luar, barulah kemudian musyawarah memutuskan bagaimana melindungi warga dari kemungkinan disharmonis dan merebaknya kejahatan. Unit-unit kecil dibentuk dan diberi tugas bergiliran secara sukarela untuk melakukan pengaman kampung. Pengaman ini khususnya dilakukan pada malam hari, karena secara alamiah malam digunakan untuk beristirahat total.
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan bahwa ronda kemudian menjadi istilah popular yang maknanya kegiatan orang laki-laki secara bersama-sama berkeliling menjaga keamanan kampung. Ronda sejak dahulu menjadi penanda bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga keamanan kampung. Masyaraat bergotong royong menyediakan kebutuhan ronda. Dibutuhkan perlengkapan untuk menunjang kegiatan ronda. Misalnya gardu atau pos ronda, alat komunikasi biasanya tong-tong, senter, kompor, konsumsi, dan sebagainya.
Menurut Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) itu, tiap kampung membuat pintu gerbang masuk ke dalam kampung. Gardu dibangun selain di samping pintu gerbang, juga di beberapa lokasi strategis, biasanya pada lokasi lalu-lalang masyarakat atau pada titik tengah-tengah kampung. Berbeda dengan ronda pada masa kolonial Belanda muapun pendudukan Jepang yang ditetapkan demi melindungi kepentingan keamanan kekuasaannya, pada masyarakat justru dilakukan untuk memperoleh keamanan lingkungan.
FUNGSI RONDA
Fungsi ronda pada masyarakat selain bentuk gotong royong, juga sarana silaturrahmi. Hubungan kekeluargaan makin kokoh. Dari tradisi ronda kemudian berkembang kebutuhan berkumpul bersama melibatkan lebih banyak warga. Misalnya membentuk paguyuban pengajian, arisan atau kebutuhan sesaat lainnya, seperti rekreasi bersama-sama seluruh warga. Jadi memang tak terbantahkan, ronda mempunyai nilai sosial yang memperkuat jalinan hubungan antarwarga.
Dari perspektif kenegaraan, semua warga negara mempunyai kewajiban membela dan menjaga keamanan negara. Intensivitas masyarakat kian digenjot bersamaan dengan merebaknya instabilitas negara tersebab ancaman negara lain atau kiprah teroris. Untuk itu Negara, melalui birokrasi di tingkat wilayah yaitu camat dan lurah mengeluarkan edaran yang sifatnya mendesak agar masyarakat mengintensifkan penjagaan keamanan lingkungan. Lahirlah kemudian institusi resmi benama Hansip atau Pertahan Sipil yang dirilis oleh Departemen Dalam Negeri. Hingga kini, Hansip masih menjadi tulang punggung keamanan di kampung.
Seolah tidak mau ketinggalan dengan Departemen Dalam Negeri, institusi pemerintah lainnya pun memobilisasi masyarakat dalam menjaga keamanan. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Komando Militernya (Kodim) membentuk Perlawanan Rakyat (Wanra), yang bertujuan membela negara dari gangguan, ancaman, dan serangan eksternal. Kepolisian Negara atau Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri); membentuk Kemanan Rakyat (Kamra) yang secara khusus mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri. Bahkan pelibatan masyarakat kian diintensifkan dengan dibentuknya Forum Komunikasi Polisi Masyarakat (FKPM). Forum ini dibentuk untuk mencegah maslah-masalah social yang berdampak dapat menjadi sumber gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat [Wawancara dengan Jawahir (52 tahun), Lebak Bulus, Jakarta Selatan, 2 Maret 2011.].
Begitu pula pemerindah provinsi, kota, dan kabupaten, membentuk dinas atau badan tersendiri untuk mengurus keamanan dan ketertiban, yaitu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Namun keberadaan Satpol PP lebih sering dihujat ketimbang diacungi jempol. Kondite Satpol PP amat buruknya karena tugas pengamanan dan penertibannya sering berbenturan dengan rakyat kecil perkotaan. Satpol PP sering melakukan penertiban, khususnya lapak pedagang kaki lima atau pedagang asongan terkadang sering diterjemahkan tidak manusiawi.
Sebenarnya Satpol PP memang harus menegakkan aturan yang telah diputuskan dalam undang-undang, pertauran daerah, perturan gubernur, instruksi gubernur, dan lain sebagainya. Masyarakat perkotaan dan kaum urban harus dipaksa memahami aturan-auran bagaimana mereka hidup di Jakarta.
Institusi-institusi itu mungkin juga terinspirasi dari masa pendudukan Jepang, yang membentuk berbagai organisasi masyarakat untuk memperkokoh pijakannya di Indonesia.
Organisasi yang dibentuk itu misalnya Seinendan dibentuk pada 1943, yaitu korp pemuda semi militer berusia 14-22 tahun. Dibentuk pula Keibodan yaitu korp kewaspadaan pembantu pembantu polisi, kebakaran dam serangan udara bagi pemuda berusia 22–35 tahun. Juga dibentuk Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air) pasukan pembantu militer angkatan darat dan laut. Dibentuk juga organisasi kebaktian Jawa bernama Jawa Hokokai. Untuk sampai ke tingkat bawah Jawa Hokokai membentuk Tonari Gumi atau rukun tetangga (RT) untuk mengornanisasi rakyat dalam unit-unit lebih kecil terdiri atas 10 – 20 keluarga. Tujuannya memobilisasi dan mengindoktrinasi rakyat untuk bersetia kepada pemerintahan militer Jepang (Ricklefs, 2007: 405-419).
PENGAMANAN SWAKARSA
Menjelang meletusnya reformasi pada 1998, dengan sokongan militer, masyarakat membentuk Pamswakarsa (pengamanan swakarsa) yaitu organisasi semi militer. Anggota Pamswakarsa secara sukarela bergabung dalam organisasi semata-mata untuk mengamankan negara dari konflik yang makin meningkat. Namun kehadiran Pamswakarsa tak mendapat simati dari masyarakat umum dan akhirnya hilang begitu saja.
Sebagaimana disinggung di atas, ronda makin diintensifkan manakala kondisi keamanan tidak kondusif. Pemerintah memerintahkan birokrasi tingkat bawah mengeluarkan surat edaran kepada Ketua Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) agar warga menjaga keamanan. Dikenallah kemudian istilah siskamling (sistem keamanan lingkungn). Karena edaran dikeluarkan oleh instansi pemerintah dan sifatnya memaksa, maka masyarakat menanggapinya setengah hati. Sangat beralasan apa yang dikatakan masyarakat terkait dengan Siskamling, sebagaimana diungkapkan M. Kamal, seorang mantan Ketua Rukun Tetangga di Kampung Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Siskamling beda, kerne ada daya paksa. Kita gak suka cara begitu. Makanya sering diganti ama duit. Dulu waktu ronda partisipasi warga dalem jaga lingkungan, buat kita suatu kebangaan telah beramal. Tapi buat pendatang khususnya Cina mereka dari dulu ogah ikut. Mereka lebih baek bayar, ganti duit, malah sering nyuruh orang, pembantunya. Ronda itu merupakan bentuk paling nyata dari silatarahmi, guyubnya orang kita. Jadi Ronda merupakan bukti kepedualian kita terhadap sekeliling karena kebiasaan turun-temurun.
Apa yang bisa kita petik dari ronda ini sebenarnya? Yang paling penting dari ronda adalah terciptanya rasa aman dan tentram. Ronda yang dilakukan pada malam hari ini menjadi sarana yang cukup efektif untuk menjaga hubungan antarwarga, meningkatkan solidaritas, dan tentu saja menjaga keamanan lingkungan.
Pos ronda yang pernah beridiri di sekeliling kampung, kini mungkin hanya tinggal kenangan. Sesekali orang berkumpul hanya untuk ngerumpi atau bermain catur, karambol, gaple, remi, dan sejenisnya. Sementara pada saat kampanye legislatif, pilpres, dan pilkada, pos ronda berubah bentuk menjadi posko partai ataupun posko pasangan calon. Fungsinya sudah bergeser jauh dari yang sebelumnya. Namun itulah jaman, senantiasa bergerak terus[Jay Akbar, “Jangan Berpaling dari Siskamling”, www.historia.com.].
Dari tradisi ronda, kemudian bermetamorfosa menjadi Satuan Pengamanan (Satpam). Ada varian lainnya untuk tugas-tugas pengamanan, seperti centeng, jage malem, dan tukang pukul bayaran. Kehadiran Satpam merupakan antisipasi kebutuhan kantor merintah dan swasta, perusahan besar, badan usaha milik daerah/negara, perumahan, perbankan, mal, super market, hotel, apartemen, dan berbagi tempat publik lainnya.
Satpam adalah satuan kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi, badan usaha/proyek untuk melaksanakan pengamanan fisik untuk menyelenggarakan keamanan swakarsa di kawasan kerjanya. Keberadaannya punya dasar hukum dan posisi jelas yaitu sebagai mitra Kepolisian RI dalam menciptakan dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) sesuai SK Kapolri No Skep/126/ XII/1980.
Kini pengadaan kebutuhan tenaga Satpam dikelola oleh perusahaan yang bekerjasama dengan instansi kepolisian atau tentara. Sebagai petugas keamanan yang profesional, Satpam wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan yang meliputi tiga tingkatan. Mereka juga harus lulus seleksi kesamaptaan jasmani dan psikotes di samping berkelakuan baik. Tujuan pendidikan itu untuk memberikan keterampilan dasar kesamaptaan dan membentuk sikap mental yang baik (Suara Merdeka, 26 Januari 2006).
Satpam yang tidak pernah mengikuti pendidikan kesatpaman susah memperoleh pekerjaan. Sertifikat Satpam yang dikeluarkan oleh perusahaan penyedia sumber daya kesatpaman menjadi acuan kesiapan mengemban pekerjaaan pengamanan. Di mana pun Satpam bertugas, sering mereka menyebut diri security, risiko yang dihadapinya cukup tinggi dan fatal. Tidak sedikit Satpam meninggal dalam melaksanakan tugas pengamanan, karena kantor yang dijaganya disatroni perampok bersenjata api dan bersikap sadis.
BERNUANSA GAIB
Masyarakat Betawi menjaga keamanan secara tradisional menggunakan media bernuansa gaib maupun tidak gaib. Di masa lalu, ketika kekuatan ilmu gaib menjadi andalan – teluh dan sebagainya – masih dominan, pada umumnya pada tiap pojok kebun dipelihara makhluk siluman berupa macan, monyet, ular, dan sebagainya. Siluman ini dipelihara untuk menjaga kebun dari gangguan penjahat (maling dan garong) yang mencoba menjarah hasil kebun. Lalu pada halaman rumah orang Betawi ditanami pohon kelor atau mengubur telor angsa yang tembuhuk (busuk). Kedua media itu (pohon kelor dan telor angsa tembuhuk) diyakini mempunyai kekuatan menangkal ilmu gaib yang negatif (ilmu hitam).
Jika pertahanan di batas kebun dan halaman dianggap lapis pertama, maka lapis kedua adalah pintu. Di kusen pintu pada umumnya dipasangi wafak baik yang bertuliskan aksara Arab, Sanskerta, mapun Latin. Wafak ini mempunyai kekuatan menangkal ilmu hitam, maling, garong, dan sebagainya. Memang, dahulu kerap dipergoki garong tidak dapat meninggalkan rumah yang digarongnya karena pemilik rumah sudah mebentenginya dengan wafak. Sang maling kesulitan mencari jalan kabur, hanya berkeliling di sekitar rumah yang digarongnya.
Pada jaman modern sekarang ini – ketika keyakinan kepada ilmu gaib kian tidak populer – masyarakat tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan kediaman atau lingkungannya. Namun kini media pemelihara keamanan bermetamorfosa menjadi Pos Siskamling atau Pos Satpam yang ditempati oleh tiga sampai lima orang satpam dilengkapi dengan kamera CCTV (Closed Circuit Television), untuk memantau keadaan berkaitan dengan keamanan atau tindak kejahatan. Maka apabila terjadi hal-hal kriminal akan dapat terekam kamera yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan bukti tindak kejahatan.
Pasang tetarup di malem Jumaat
Kelar hajatan malem selasa
Orang idup kudu hormat-menghormat
Supaya hidup aman sentosa
Ekonomi Syariah Jawab Tantangan Pembangunan, Perlu Dikembangkan