INDOWORK.ID, JAKARA: Masyarakat inti Kota Jakarta, yaitu masyarakat Betawi, melakukan pengenalan lingkungannya kemudian mengeksplorasi semua peristwa dan proses penyerapan energi positif untuk melawan dominasi energi negatif. Para tetua atau bebongkot kampung yang dihormati mempunyai kemampuan membaca dinamika lingkungan yang tidak kasat mata. Oleh karenanya pola-pola pengaturan dan penangkalan segala kemungkinan perilaku yang membuat kehidupan sosial kemasyarakatn dalam kampung tidak kondusif menjadi perhatian utama.
Bagaimana kemudian pranata bermasyarakat diungkapkan dalam berbagai bentuk kegiatan yang mengikat untuk kemslahatan bersama. Kehidupan atau suasana kampung harus aman, nyaman, tertib, gotongroyong, dan bersaudara.
MAO AMAN PAKE IMAN
Mao aman pake iman. Peribahasa ini sering diucakan pemimpin tradisional masa lalu untuk memberikan pemahaman dan penekanan betapa pentingnnya menciptakan suasana aman di tengah kehidupan bermasyarakat. Rumus iman adalah ikrar yang diucapkan dengan tegas oleh lisan dan direalisasikan secara berkesinambungan dengan perbuatan baik. Karena inti iman adalah percaya dan saling mengasihi, maka urusan kehidupan lainnya akan mengikuti. Jelaslah bagi masyarakat Betawi, memelihara iman dengan baik akan tercipta kehidupan aman, tenteram, dan damai.
Menurut Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, keamanan adalah kata sifat berkata dasar aman. Dalam lingkup individu, kata aman memiliki arti bebas dari segala bentuk ancaman, kekuatiran dan ketakutan akan kehilangan harta benda dan nyawa yang datang dari luar. Dalam lingkup lingkungan tentu bermakna bebas dari segala bentuk intimidasi, kejahatan, teror yang berasal dari dalam dan luar lingkungan. Tak sedikit kejahatan muncul dari dalam lingkungan dengan motif bermacam-macam. Ada individu atau kelompok yang merasa sakit hati, cemburu, persaingan material, atau merasa terasingkan dari lingkungan.
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) itu mengatakan bahwa awalnya proses mencari atau mendapatkan rasa aman tentu diperjuangkan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Ketika penduduk kampung meningkat, muncul pemahaman dan keinginan untuk membentuk rompogan atau unit kecil. Rompogan bertambah kian banyak dan membutuhkan kepala atau pemimpin antar rompogan.
Pada masyarakat tradisional (Lohanda, 2007: 177-181), kepala rompogan muncul secara alamiah karena memiliki sifat-sifat yang tak dimiliki warga di lingkungan itu. Sifat-sifat itu misalnya tangkas, berani, sabar, pelindung, spiritualitasnya tinggi, visioner, dan memahami sifat-sifat masyarakat di sekitarnya. Karena itulah orang seperti ini menjadi tumpuan masyarakat, menjadi tempat bertanya, mengadu, berlindung, dan meminta nasehat. Dialah yang kemudian ditahbiskan menjadi tetua kampung, sesepuh atau dedengkotalias tokoh masyarakat.
Pada masa penjajahan Belanda, para pejabat pribumi disebut inlandsch bestuur, dengan jenjang mulai bupati, patih, wedana, lurah, dan penghulu. Tetapi di daerah pinggiran kota, disebut ommelandan, pemimpin wilayah disebut demang. Sebagai kepala wilayah, demang membawahi kepala kampung atau kampung hoofd biasa disebut wijkmeester. Katawijk atau wijkmeester, oleh masyarakat Betawi sering diucapkan menjadi bek atau bek lurah. Bek mempunyai wakil yang disebut twidi dan serean (kepala lingkungan).
Pada petunjuk pelaksaan dan petunjuk teknis, bek bertugas mengatur pelaksaaan ronda(jaga malam) mulai pukul 20.00 – 05.00; memeriksa warga yang berkeliaran; mencari budak yang melarikan diri; mencatat angka kelahiran, perkawinan, dan kematian warga pribumi.
Bagi pemerintah kolonial, keamanan menjadi amat penting, terutama di wilayah ommelanden yang sebagian besar merupakan tanah partikelir yang diatur langsung oleh tuan tanah. Di wilayah ini kepala desa diangkat langsung oleh tuan tanah (Lohanda, 2007: 216). Karena tuan tanah berkuasa penuh, maka kesewenang-wenangan atau ketidakadilan senantiasa terjadi di kawasan ini. Bermunculanlah kemudian perlawan dari masyarakat pribumi. Seorang petani bernama Rama melakukan pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan anteknya. Tokoh Pitung menjadi sosok yang amat ditakui oleh pemerintah kolonial. Muncul kemudian perlawanan petani di Kampung Condet, dipimpin Entong Gendut dan perlawanan petani di Kampung Tanah Tinggi, Tangerang, dipimpin Kalin bin Kayah. Kesadaran berposisi sebagai penjajah itulah yang menyebabkan penjajah Belanda membuat aneka peraturan yang menekan ruang gerak rakyat pribumi memperoleh kebebasannya. Pada zaman pendudukan Jepang (Departemen Kehakiman, 1980: 30-31), kepala kelurahan disebut kuco dan kepala kampung disebut asaco. Sementara kepala rukun tetangga disebut kumico. Tugas para kepala itu sama saja dengan tugas-tugas wijkmeester dan twidi, hanya istilahnya saja yang berbeda.
Di zaman modern, meski masyarakat dibebaskan memilih pemimpinnya, namun pemerintah mengambil peranan penting menentukan kepemimpinan pada tingkat kampung. Terutama ketika sudah dibentuk kelurahan. Kelurahan dipimpin oleh lurah. Di bawah kelurahan ada pulo atau kampung yang dipimpin oleh mandor. Lalu kedudukan mandor dilebur dalam jabatan resmi pada kantor kelurahan, menjadi kepala seksi keamanan dan ketertiban. Pada level paling bawah, kelurahan dibantu pemimpin infomal yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, yaitu Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Para pemimpin inilah yang kerap melakukan nyambat untuk menentukan kebijakan bersama dalam menjaga keamanan lingkungan.
Pada kenyataannya, di dalam pranata masyarakat Betawi, kepemimpinan menjadi agak sedikit rumit, khususnya pada kepemimpinan informal. Setidaknya ada dua tipe kepemimpinan informal dalam masyarakat Betawi. Pertama tipe pemimpin berbasis keagamaan. Kedua tipe yang berbasis pada kemampuan fisik, dalam arti jago atau jagoan.
DARI USTADZ HINGGA DATO
Pemimpin keagamaan pun bertingkat, mulai dari pemimpin lingkungan sampai tingkat kota. Pemimpin informal masyarakat Betawi diberi gelar keagamaan berjenjang dengan sebutan ustadz, mu’alim, guru, dan dato. Ustadz adalah pemimpin tingkat RW dan pada umumnya pengajar agama tingkat pemula yang mengajar perukunan, istinja, juzz Amma (Kuran kecil), shalawat, dan doa-doa pendek.
Mualim adalah pemimpin lingkungan atau pulo yang pengetahuan agamanya di atas ustadz. Ia dapat mengajar kitab, namun belum mempunyai hak berfatwa, biasanya memberi khutbah Jum’at. Guru, lengkapnya Tuan Guru atau Wa Guru atau uwan adalah pemimpin bagi masyarakatnya. Pengetahuan keagamaannya sudah tinggi, menguasai sesuatu bidang ilmu agama secara mendalam, misalnya tafsir atau falak, ahli mengajar kitab, memberi khutbah Jumat, dan boleh mengeluarkan fatwa. Dan Dato adalah seorang yang mempunyai fadhilah atau keutamaan dan tentu saja sangat luas ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya. Sumber legitimasi adat dan hukum. Dia mempunyai hak mengeluarkan fatwa untuk kemaslahatan masyarakatnya.
Meski ada dua tipe kepemimpinan masyarakat Betawi, tapi di antara mereka tak terjadi perebutan pengaruh. Dalam banyak hal jagoan menghormati para pemimpin keagamaan. Para jagoan sadar bahwa ustaz, mu’alim, guru, dan dato memiliki kelebihan dan keutamaan yang dibutuhkan oleh jagoan. Misalnya amalan atau jampe-jampe untuk mencapai tingkat tertentu dalam ilmu maen pukulan (silat) dipelajari dari ahli agama. Wafak dan isim yang terdapat pada golok atau dalam lembaran kain putih yang dimiliki para jagoan dikerjakan atau ditulis oleh ahli agama. Itu sebabnya setinggi apa pun ilmu maen pukulan jagoan, niscaya hormatnya kepada ahli agama tak bisa ditutup-tutupi. Jaman dulu umumnya jagoan diangkat menjadi bek karena keahliannya dalam ilmu maen pukulan tapi tetap minta nasehat kepada ahli agama. Umumnya ustaz, mualim, guru, dan dato ahli di bidang agama, tapi mereka pun menguasai ilmu-ilmu non-agama dengan amat baik. Seperti ilmu maen pukulan dan lain-lain.
Buya Hamka dan Siti Raham, Berjuang dari Agama sampai Politik