Bisnis Headline

Inilah 7 Kisah Paling Lucu Sepanjang Sejarah Pasar Modal Indonesia



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Beberapa penggalan pengalaman dalam menapaki perjalanan karir dan pengabdian Hasan Zein Mahmud di bursa efek di Indonesia menarik untuk disimak. Hal-hal kecil saja. Tapi ikut menentukan tahapan tahapan perkembangan bursa efek di tanah air. Ibarat potongan potongan puzzle yang berserak, episode ringan ini mungkin tak pernah terekam sejarah. Bagi Hasan pribadi, ia merupakan kenangan manis. Indah dan lucu juga. Boleh jadi ada harganya untuk dibaca dan diketahui generasi kini. Boleh jadi subjektif, karena Hasan berada di tengah tengah peristiwa-peristiwa itu. Insya Allah kebenaran fakta historis terjaga.

 Pertama, Sistem Call

Hasan merupakan generasi ketiga pimpinan call. Pejabat yang memimpin proses transaksi. Generasi pertama merupakan pejabat pejabat Bank Indonesia yang diperbantukan di Bapepam. Karena saat pengaktifan bursa efek 1977, hanya orang orang Bank Indonesia yang memahami, dan berpengalaman dalam menimpin dan menyelenggarakan, transaksi efek.

Hasan terlibat dalam semua tahapan perkembangan sistem transaksi. Mulai dari Call Tertutup, Call Terbuka, transaksi di papan tulis dan transaksi elektronis. Saya mulai dengan celoteh tentang dua sistem yang disebut terdahulu. Pada Call Tertutup, para pialang anggota bursa menyerahkan pesanan beli atau jual dalam amplop tertutup. Begitu bel perdagangan berbunyi, semua amplop dibuka. Harga dicocokkan, jumlah masing-masing pesanan dituliskan di papan tulis. Kalau harga permintaan dan penawaran bertemu terjadilah transaksi. Perdagangan berlangsung selama 15-30 menit, setiap hari. Cara ini tak bertahan lama. Sangat merepotkan ketika saham yang tercacat lebih dari jari sebelah tangan.

Transaksi kemudian berkembang menjadi Call Terbuka. Seperti lelang open outcry pada umumnya. Hanya saja lelang di bursa diikuti oleh banyak pembeli dan penjual. Pimpinan Call akan menjadi polisi lalu lintas terhadap pialang pembeli dan penjual yang mengacungkan tangan sambil meneriakkan jual/beli dan harga. Price priority bisa diidentifikasikan dengan jelas, tapi time priority, nyaris mustahil, ketika mereka menunjuk berbareng dan mengajukan harga yang sama. Dalam hal ini Pimpinan Call punya kewenangan mutlak.

 Kedua, Papan tulis bertingkat

Ketika saham yang ditransaksikan makin banyak. Artinya melebih jari tangan, Call terbuka time consuming. Proses lelang dilakukan bergilir satu saham demi satu saham. Melelahkan. Membuat parau. Plus kerepoptan menentukan time priority. Transaksi kemudian diubah. Dilakukan dengan menyediakn sebuah papan tulis untuk tiap saham yang diperdagangkan. Pialang akan antre menuliskan kode masing-masing di kolom beli atau jual yang telah disediakan. Setelah sebelumnya memasukkan slip order yang disediakan di samping tiap papan tulis. Price priority jelas dari urutan rentang harga, yang sudah dituliskan terlebih dahulu di papan tulis. Time priority terlihat dari tempat kode masing masing tertulis. Yang menulis di sisi paling dalam dalam suatu baris harga tertentu, adalah pemilik prioritas.

Ketika jumlah saham yang diperdagangkan mencapai puluhan, ruang untuk menggantung papan tulis di dinding penuh. Kebetulan lantai perdagangan, di Jalan Merdeka Selatan 14, itu memiliki plafon tinggi, dan di bagian atas dikelilingi oleh dinding kaca. Di luar dinding kaca itu, di seputar lantai perdagangan, merupakan galeri tempat para investor berkerumum menyaksikan transaksi yang terjadi di lantai bursa. Mengatasi kekurangan tempat untuk papan transaksi, lalu digantung papan papan baru di atas barisan papan lama. Untuk mencapai papan di atas, disediakan beberapa tangga dan lantai sempit tempat berpijak.

Yang ini lucu tapi nyata. Para petugas pialang, saat itu, banyak perempuan muda, cantik dan sebagian memakai rok mini. Perempuan cantik, pakai rok mini, naik tangga ke atas. Konon itu yang memicu galeri jadi ramai oleh mereka yang datang membawa teropong.

 Ketiga, Fotocopy surat saham

Pada akhir 1980-an, perisnya sekitar akhir 1988, transaksi mulai marak. Penyebabnya, dibukanya bursa untuk pialang asing dan investor asing yang tertuang dlam kebijakan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 1987. Sejatinya, secara teknis bursa tidak siap untuk mengalami peningkatan aktivitas luar biasa yang menyerbu mendadak itu. Jam kerja yang biasanya santai dan berakhir persis pukul 16.00, kini sering berubah hingga larut malam. IHSG yang semula dihitung menggunakan kalkulator, kini membutuhkan komputer. Pernah terjadi, IHSG dihitung pakai kalkulator, hingga tengah malam belum selesai juga. Alhamdulillah, sebuah perusahaan komputer yang bersimpati, menghibahkan dua perangkat komputer ke bursa

Masih ada sederet masalah teknis lain.

  • Transaksi belum memiliki fraksi harga standard. Ada yang Rp 10, Rp 12,5 Rp 25 dst.
  • Belum diatur satuan lot perdagangan, sehingga surat saham kolektif (SSK) pun diterbitkan tidak dalam satuan standard. Ada pecaham 1.000, 10.000…hingga 1 juta saham dst.
  • Yang paling rumit, tiap transaksi harus disahkan dengan Akta Pemindahan Hak (APH) yang ditandatangani pialang jual, pialang beli,dan legalisasi petugas bursa.

SSK kemudian difotokopi untuk diberikan kepada pembeli. SSK asli dikirim ke emiten bersama APH sebagai dasar balik nama dari pemegang saham lama kepada pemegang saham baru. Mekanisme yang tunduk pada anggaran dasar perusahaan tertutup. Begitu transaksi menjadi ramai, beredar foto kopi dari foto kopi dari foto copi SSK. Pemindahan hak milik saham yang diadministrasikan emiten atau BAE tidak bisa mengejar kecepatan perpindahan pemilikan akibat transaksi.

Pada 1989, jumlah foto kopi SSK jauh melampaui SSK yang asli. Penelusuran pemilikan menjadi sangat rumit. Tanpa perubahan mendasar krisis akan segera terjadi.

Dalam pertemuan dengan semua anggota bursa menjelang akhir 1989 diputuskan:

  • Ditetapkan fraksi harga Rp 25;
  • Ditetapkan lot size 500 saham;
  • Semua SSK ditarik kembali diganti dengan SSK baru yang tiap lembarnya dicetak dalam satuan lot. SSK yang tidak dalam satuan lot tidak bisa diperdagangkan;
  • APH ditiadakan. Sebagai gantinya di belakang SSK dicetak kolom endorsemen, yang mencatat, perjalanan pemindah-milikan. Balik nama di Emiten/BAE dilakukan hanya apabila ada aksi korporasi, atau kolom endosemennya penuh terisi.

Jadilah jual beli saham sperti jual beli mobil bekas. Sepanjang pembayaran dan penyerahan SSK, yang sudah diendorse, berjalan lancer, transaksi settled. Walaupun di emiten/BAE pemilikan masih tercatat atas nama pemilik pertama.

Protes pertama datang dari emiten. Mereka harus mengganti semua SSK. Padahal SSK itu harus dicetak menggunakan kertas dengan money paper quality. Biaya. Protes yang “agak mengerikan” dating dari para ahli hukum pasar modal. Scara aklamasi mereka mengatakan bahwa apa yang sudah dinisiasi oleh Hasan, bertentangan dengan peraturan perundangan.

 Keempat, Nodong fasilitas

Bursa Efek adalah bagian dari organisasi pemerintah. Aset-aset yang ada di lantai perdagangan adalah aset Negara. Alat-alat kantor yang diperlukan untuk menunjang transaksi dan penyelesaiannya, dibiayai oleh APBN. Ketika transaksi masih sepi, laporan rekap transaksi harian bisa dicetak di selembar contiuous form yang dipotong empat. Setelah ramai, laporan itu memenjang manjadi beberapa lembar. Meminta tambahan continuous forms dari Bagian Umum sering ditolak, karena persediaan sudah habis, dan anggaran sudah terpakai semua.

Menunggu anggaran tahun depan? Yang saya lakukan kemudian adalah “nodong” pelaku pasar. Membuat daftar bergilir bagi anggota bursa untuk menyediakan continuous forms.

Hal yang sama terjadi ketika ada anggota bursa baru yang mendapat izin. Tiap anggota bursa disediakan meja kecil (booth) dengan ukuran dan disain yang seragam, ditaruh di tempat  yang telah dialokasikan. Ketika anggota bursa makin banyak, anggaran untuk membuat booth juga tidak lagi tersedia. Yang saya lakukan kemudian, adalah meminta anggota bursa tersebut membuat sendiri booth dengan ukuran dan disain yang sama. Lalu menentukan tempat memasang booth tersebut, serta meminta staf bursa untuk mencatat daftar aset swasta yang berada di kantor pemerintah.

 Kelima, Swastanisasi

Kendala-kendala pengembangan hanya bisa diatasi dengan satu cara: swastanisasi bursa. Proses yang tak bisa diceritakan dengan singkat. Tapi episode yang ini tertulis lumayan lengkap di sejarah bursa. Saya ingin berceloteh bagian yang tidak terrekam.

Tanggal 3 Desember 1991, sehari sebelum Akta Pendirian PT BEJ ditandatangani, Hasan menghadap J.B. Sumarlin, Menteri Keuangan, saat itu. Mengajukan permohonan berhenti sebagai ASN serta mohon pamit. Hasan mengingat dengan baik kalimat Sumarlin yang terkait langsung dengannya.  “Sebenarnya dari kacamata pemerintah, tidak ada nama Mas Hasan sebagai calon dirut PT BEJ. Hasan itu dikenal sebagai orang temperamental, mudah marah, sulit bekerjasama, dan tidak mau kompromi. Tapi karena orang-orang lain yang diminta menyatakan tidak bersedia, sementara dari seluruh anggota bursa hanya menginginkan satu nama, Hasan!”

Ketika PT Bursa Efek Indonesia akan diresmikan, di kantor yang sederhana, perusahaan belum memiliki kop surat dan logo. Saya meminta tolong kepada Lahyanto Nadie, wartawan Bisnis Indonesia. Dialah yang membuat logo pertama nan bersejarah itu.

 Keenam, Undian menulis

Ketika PT Indosat, sebagai BUMN pertama go public pada 1994, minat investor asing sangat besar. Transaksi jadi “membludak”. Rebutan menulis di papan tulis. Saling dorong, saling sikut, menulis dari atas papan. Keos. Proses transaksi menjadi terhenti. Fragmen yang ini, kalau saya tak salah ingat, diabadikan, dan fotonya masih tergantung di Galeri Bursa.

Yang saya lakukan kemudian adalah mengundi urut-urutan petugas pialang untuk mendekati papan tulis. Antre panjang yang lambat dan melelahkan. Hanya ada satu solusi: elektronisasi transaksi

 Ketujuh, Komputerisasi yang menegangkan

Hasan masih ingat tanggalnya. 22 Mei 1995. Hari pertama komputerisasi transaksi di BEJ. Diresmikan oleh Presiden Soeharto. Sistem perdagangan elektronik itu, sebelumnya sudah dicoba dan diuji berulang ulang, disimulasikan berkali-kali bersama anggota bursa, hingga diperoleh keyakinan bahwa segala sesuatu akan berjalan lancar.

Ternyata mogok pada menit-menit pertama. Sungguh saya berkeringat dingin. Maka ketika saya diwawancarai oleh wartawan Kompas, beberapa waktu setelah itu, saya mengatakan kalimat yang ditulis di media cetak tersebut secara utuh. “Detik-detik yang lebih menegangkan ketimbang mengucapkan ijab–kabul saat akad nikah beberapa puluh tahun lalu.”

Berita Lainnya