INDOWORK.ID, JAKARTA: Bus yang membawa jemaah haji Bandar Udara King Abdul Azis, Jeddah, berisikan 40 orang. Tempat duduknya lega. Saya berada kursi paling depan. Jemaah haji asal Jakarta Selatan itu tak banyak yang saling mengenal. Rombongan saya terdiri dari 10 orang. Sedangkan 40 lainnya baru bertemu dalam bus itu.
Selepas shalat subuh, 26 Maret 1996, berangkatlah bus besar itu menyusuri jalan yang membelah padang pasir. Selepas shalat dzuhur, bus pun berhenti untuk istirahat sejenak. Ketika para jemaah kembali ke bus, di kursi mereka telah terdapat panganan kecil yang berupa kue basah. Warnanya kuning pekat, tak ditutupi. Para jemaah pun terkejut karena mereka tak bisa duduk.
Sementara perjalanan harus segera dilanjutkan karena mengejar tenggat. Agar tiba di Madinah waktu shalat fardhu. Rombongan harus disiplin karena mengejar arbain. Shalat arbain adalah bentuk ikhtiar kesalehan personal dan sosial jemaah haji dan merupakan salah satu ibadah yang dilakukan jemaah haji di Kota Madinah al Munawarah, yaitu salat fardu berjamaah di masjid Nabawi selama 40 kali berturut-turut bersama imam masjid.
Ketika hampir seluruh jemaah masuk ke bus dan tak berani menyentuh makanan itu, rupanya ada informasi dari sang sopir bahwa ada pengasong yang meletakkannya. Tak lama kemudian pengasong pun datang dan meminta bayaran dari kue-kue tersebut. Tentu saja jemaah menolak karena tak berminat membelinya. Selain kurang selera, juga belum mengetahui bahannya terbuat dari apa.
Beberapa pengasong pun memaksa. Mereka bukan layaknya pedagang yang sopan dan santun, melainkan kasar dan mengancam. Sementara sopir tak dapat berbuat banyak. Ancamannya jika penumpang tak membeli, maka bus tak boleh jalan. Tiba-tiba sang pengasong bertanya, “siapa kepala rombongan bus ini?” Dari belakang muncul seorang pemuda yang belakangan saya ketahui berusia 31 tahun. Si pemuda berkulit bersih dan berjenggot tipis itu langsung menunjukkan jemarinya kepada saya. “Ini dia ketua rombongannya,” katanya dalam bahasa Arab yang fasih.
Tentu saja saya terkejut. Namun sebagai wartawan yang terbiasa menghadapi hal-hal yang serbamendadak, saya sigap menjawab dalam bahasa Inggris. Karena memang ketika itu saya belum bisa berbahasa Arab.
Rupanya si pemuda tadi menterjemahnya jawaban saya. Sebagai ‘kepala rombongan’ yang baru saja didaulat, saya harus segera mengambil keputusan. Saya bilang kepada si pengasong, bahwa kami memang tidak membeli dagangan mereka. Namun akan memberikan sedekah agar makanan itu kembali diambil. Negosiasi singkat itu berhasil.
Perjalanan menuju Madinah dilanjutkan. “Maaf ane langsung tunjuk antum sebagai ketua rombongan, karena ane yakin meskipun belum kenal,” kata si pemuda yang mendaulat saya itu.
“SAYA MARULLAH, DARI PONDOK LABU”
Kami pun berkenalan. “Saya Marullah Matali, dari Pondok Labu,” katanya seraya menjulurkan tangan dengan jabatan yang erat. Itulah pertama kali saya mengenalnya. Kami langsung akrab. Ketika di Madinah, hotel kami tak berjauhan. Waktu 8 hari di Madinatul Munawaroh itu terasa singkat. Kami tak sempat ngobrol banyak karena fokus beribadah mengejar shalat arbain.
Begitu pun ketika di Mekkah, padang Arafah, hingag di Mina dan kembali ke Jeddah setelah 42 hari bermukim di Saudi Arabia. Tak banyak berinteraksi kecuali urusan ibadah dan saling menasehati di dalam kebaikan. Kenangan yang paling berkesan tentu ketika bermukim di Padang Arafah. Di antara para jemaah, banyak yang merokok. Ustadz Marullah pun mengingatkan agar jemaah tidak merokok, akan tetapi perbanyak beribadah membaca Al Qur’an.
Saya tidak merokok. Pun Ustadz Marullah. Kami makin akrab. Sesama mengenakan pakaian ihram, kami merasa senasib. Sejak mengenakan pakaian ihram yang melambangkan kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali kepada fitrahnya yang asli, yaitu sehat dan suci-bersih. Dengan pakaian seragam putih, kami berkumpul melakukan Wukuf di Padang ‘Arafah. Wukuf di Padang ‘Arafah 9 Dzulhijjah itu merupakan puncak ritual ibadah haji di tanah suci dan menjadi salah satu rukun haji, yang menurut Rasulullah saw. bahwa “Haji itu adalah Wukuf di Padang Arafah”, begitu kata Ustadz Marullah.
Kemudian ia mengucapkan selamat, seusai wukuf sebelum kami bermalam di Muzdalifah untuk selanjutnya menuju Mina. “Selamat ya Bang Haji, sekarang sudah selesai wukuf, puncaknya ibadah haji,” ujarnya seraya merangkul saya.
BERPISAH DI PADANG ARAFAH
Kami pun berpisah di Padang Arafah, 28 April 1996. Sekembali ke Tanah Air kami tak pernah bertemu.
Enam tahun kemudian, tepatnya bulan Ramadhan 2002, saya diundang ke rumah dinas Wakil Gubernur Fauzi Bowo di Jl. Denpasar, Jakarta Selatan. Ketika itu saya menjadi Wakil Sekjen Bamus Betawi di mana Ketua Umumnya adalah Bang Foke, panggilan akrab Fauzi. Ketika akan mengisi presensi, ada seseorang yang menyapa saya dari belakang. “Masya Allah, Ustadz! Apa kabar?” Rupanya pria tersebut adalah KH Marullah Matali.
Saya melengkapi namanya menjadi KH karena memang selama enam tahun tak bersua, kiprahnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di DKI dilengkapi dengan kesalehannya di masyarakat dalam mendakwahkan agama Islam. Ia yang memang seorang ustadz, makin banyak jemaahnya dan para santrinya memanggilnya sebagai kyai haji.
Pertemuan itu begitu berkesan. Namun setelah itu kami tak lagi pernah bersua.
Pada 23 Januari 2020 saya bertemu dengan Wakil Walikota Jakarta Selatan Isnawa Aji di Gedung Telkom Landmark Tower lantaran undangan direkturnya, Nurhayadi. Dari sinilah silaturahmi kembali tersambung dengan Marullah yang ketika itu menjadi Walikota Jakarta Selata. “Mantul Bang,” begitu kata Walikota mengomentari salam saya melalui pesan singkat WA.
Pada 29 September 2020, dengan izin Allah saya sempat besilaturahmi ke kantornya di bilangan Petogogan, Jakarta Selatan. Saya memberikan hadiah untuknya buku Dedengkot Betawi Haji Nuri Thaher Juragan Dermawan dan Religius.
Senin, 15 Januari 2021, ia akan dilantik menjadi Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta. Saya akan menghadiri pelantikannya sesuai protokol Covid-19. Ia menggantikan Saefullah yang wafat karena Covid-19. Hal tersebut disampaikan Kepala Sekretariat Kepresidenan Heru Budi Hartono, kemarin.
APRESIASI FORUM JURNALIS BETAWI
Terpilihnya Marullah mendapat berbagai tanggapan. Forum Jurnalis Betawi (FJB), menyambut girang.
“FJB sangat mengapresiasi terhadap proses lelang jabatan Sekda yang dimulai sejak Oktober tahun lalu,” ujar Ketua FJB Ahmad Buchori melalui keterangan resminya, Jumat (15/1/2021)
Menurut dia, melalui proses lelang yang digelar secara transparan itu, dapat diketahui bagaimana seseorang dapat terpilih untuk menjabat. Ada nilai-nilai terukur terhadap kemampuan seseorang sehingga Marullah dipilih.
Marullah dipilih melalui proses ketat dan transparan. Artinya, makin banyak orang Betawi sebenarnya mampu menduduki jabatan strategis di pemerintahan provinsi. Apalagi sebelum Marullah, jabatan sekda juga dijabat oleh anak Betawi lainnya, Saefullah yang meninggal karena sakit,” ujar kata Buchori.
Jauh sebelumnya Fauzi Bowo dan Muhayat juga pernah menjadi Sekda.
Boy, panggilan akrab Buchori, mengharapkan terpilihnya Marullah Matali menjadi Sekda Provinsi DKI Jakarta menjadi inspirasi dan mendorong generasi muda Betawi siap berkiprah di pemerintahan tingkat provinsi, bahkan tingkat pusat.
“FJB menilai orang Betawi mempunyai kemampuan untuk berkiprah di pemerintahan tersebut sehingga eksistensi Betawi sebagai masyarakat inti kota Jakarta tetap terjaga,” terang Buchori.
ANAK BETAWI ASLI
Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi Beky Mardani menjelaskan bahwa Marullah yang lahir di Pondok Labu ini dipilih sebagai Sekda Provinsi DKI, karena meraih skor tertinggi dalam proses lelang jabatan sekda Provinsi DKI Jakarta yang dirilis pada Oktober tahun lalu.
“Misalnya di tes asesmen kompetensi, anak Betawi ini meraih skor 82,22 dengan bobot 20,56 persen. Dia juga meraih skor tertinggi 78,00 dalam tes tertulis pembuatan makalah.”
Dalam seleksi tersebut, Marullah bersaing ketat dengan kandidat lain seperti Sri Hartati (Plt Sekda), Sigit Wijatmoko (Walikota Jakarta Utara), Yusmada Faisal (77,78), dan Andri Yansah (77,78).
LKB mengucapkan selamat atas terpilihnya Marullah Matali sebagai Sekda Provinsi DKI Jakarta. “Semoga Marullah amanah dan diberi kelancaran dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai sekda di provinsi yang merupakan ibukota Republik Indonesia ini,” harap Beky.
Marullah Matali adalah anak Betawi kelahiran Pondok Labu, Jakarta Selatan. Menjabat sebagai Walikota Jakarta Selatan sejak 5 Juli 2018. Sebelumnya ia sempat menjabat sebagai Asisten Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pengendalian Kependudukan.
Marullah juga merupakan alumnus University Islam Madinah Arab Saudi yang juga menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Jakarta (kini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
Saya bersyukur atas terpilihnya sahabat itu. Kemarin saya mengucapkan selamat atas amanah itu. “Wa’alaykumussalam. Aamiin yaa Allah. Terima kasih Bang Lahyanto.” Pak Sekda menjawab singkat.
Oh ya, kenapa judul cerita ini Marullah Matali, Teman Tukang Koran? Maklumlah, sejak 1980 memang saya sebagai loper koran. Naik haji pun karena ongkos perusahaan penerbit koran.
*) Ditulis oleh Lahyanto Nadie, Anggota Komisi Pendidikan Dewan Pers dan Penguji Kompetensi Wartawan di LPDS. Foto-foto oleh Muhammad Syakur Usman dan Abdul Salam.
Bercita-cita Ingin Jadi Terkenal, Eh Penyiar TVRI Rusdi Saleh Ngetop