INDOWORK.ID, JAKARTA: Adakah Betawi punya raja? Satu-satunya raja yang ‘diakui’ masyarakat mungkin hanya Benyamin Sueb. Perkaranya Benyamin main dalam Film Benyamin Raja Lenong. Benyamin yang berperan sebagai diri sendiri dalam film arahan sutradara Syamsul Fuad diceritakan berprofesi sebagai tukang cuci sekaligus pemain lenong. Film yang diedarkan PT Angin Ribut Film Company tahun 1975 itu berakhir dengan adegan Benyamin mementaskan lakon sebagai Raja Lenong dalam pernikahaan Hamid Arief (yang berperan sebagai Wan Hamid pemilik kontrakan) dengan Aminah Cendrakasih (berperan sebagai Mimin).
Soal kedudukan raja memang tak pernah ada cerita di Tanah Betawi. Berdasar tulisan Lance Castles berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” yang dimuat pada jurnal Indonesia terbitan Cornell University (1967), menyebutkan, etnis Betawi merupakan campuran dari berbagai suku bangsa di Nusantara. Meski, begitu Ridwan Saidi, sejarawan asal Betawi, ‘membantahnya’ dengan menyebutkan bahwa asal-usul etnis Betawi itu dari Kerajaan Salakanagara (abad 2 Masehi). Tentu perlu ada tinjauan historis untuk membuktikan itu.
Lepas dari hal itu, tiadanya raja dalam sistem budaya Betawi boleh jadi membentuk pola pergaulan masyarakat Betawi yang terkenal egaliter alias nyaris tiada strata yang membatasi pergaulan antar sesama. Alm. Mahbub Djunaidi, kolumnis, jurnalis dan juga politisi Indonesia yang juga berasal dari Betawi, sampai menuliskan, siapah orang Betawi itu? “Orang Betawi adalah Orang Betawi” (Asal Usul, 1995). Penulis jenaka ini seperti ‘meneguhkan’ bahwa Orang Betawi bertingkah apa adanya.
Maka, dalam tradisi minum teh pun dilakukan secara informal. Tak seperti bangsa Inggris yang urusan seduh menyeduh daun camelia sinensis saja dulunya hanya boleh dilakukan oleh kaum bangsawan. Maklum, Negeri yang doyan betul menjajah bangsa lain ini, tanahnya tak subur, sehingga untuk mendapatkan daun teh terbaik harus didatangkan dari negeri jajahannya.
Misal lain ada pada bangsa Jepang. Negeri yang orang-orangnya bekerja tak mengenal waktu itu pun doyan betul berlama-lama mengikuti sadō/chadō, acara minum matcha yang penyajiannya diputar-putar dalam cawan. Memang, teh dianggap minuman sakral. Saking sakralnya, siapapun yang ingin ikut upacara itu, haruslah berpakaian tradisional Jepang yang lengkap.
Lantas, bagaimana orang Betawi melakukan ritual high tea? Bagi masyarakat Betawi, minum teh bukanlah ajang formal yang harus diupacarai. Nyahi sebutan warga Betawi untuk aktivitas ini. Bisa pagi-bisa pula sore. Konon kabarnya, kata ‘nyahi’ terambil dari bahasa Arab, syahi yang artinya teh. Tapi ada pula, yang menyebutkan, kebiasaan nyahi ini diperoleh dari interaksi dengan para pendatang Tionghoa.
Belum ada referensi yang bisa dijadikan rujukan pasti. Hanya saja, sebagai Tanah Akulturasi, budaya Betawi memang dipengaruhi berbagai macam budaya lain. Baik dari budaya luar Nusantara, maupun daerah lain di Nusantara.
Jelasnya, tradisi nyahi sudah mulai sulit didapati. Kalaupun ada, sebutannya bukalah nyahi tetapi sekadar ngeteh pagi atawa sore. Memang bagi warga Betawi, soal sebutan tak perkara penting. Orang bisa sebut apa saja, yang penting esensinya tetap terjaga.
BERCENGKERAMA BERSAMA KELUARGA
Dahulu, nyahi dilakukan sebagai ajang bercengkrama bersama keluarga atau kerabat dekat. Sepanjang menyeruput teh tawar yang tidak kental, terjadi aneka perbincanangan dari hal serius hingga santai. Biasanya, prosesi nyahi dibarengi dengan aneka kudapan. Ada yang ditemani gemblong, ubi-singkong-pisang rebus, hingga uli bakar serundeng.
Lantaran tak ada kasta dalam masyarakat Betawi, prosesi nyahi pun boleh dilakukan siapa saja. Mulai raja lenong, hingga para pekerja biasa.
Artikel ini ditulis oleh Rizka S. Aji di http://betawipedia.com
Dialog Multikultural: Merayakan Hari Lahir Pancasila Melalui Keberagaman Busana Adat