INDOWORK.ID, JAKARTA: Guru adalah istilah Sanskerta untuk “pembimbing, pakar, atau master” ilmu pengetahuan atau bidang tertentu. Masyarakat tradisi pan-India, memaknai istilah ‘guru’ lebih dari sekadar ‘guru’ sebagaimana dipahamai oleh masyarakat Indonesia dewasa ini.
Guru adalah orang yang mengusir kegelapan dan membawa cahaya. Secara tradisional, guru merupakan sosok yang dihormati oleh para murid. Pasalnya, ‘guru’ melayani ‘murid-muridnya’ dengan cara memberi nasihat tentang kehidupan yang dilandasi kebenaran dan keadilan.
Guru membantu para muridnya membangun nilai-nilai sehingga mereka memiliki akhlak yang mulia. Ia berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan supaya para murid menjadi cerdas dalam berpikir, bijaksana dalam megambil sikap, dan adil dalam membuat keputusan. Singkat kata, guru adalah sumber inspirasi dan teladan kehidupan bagi para murid, dan orang lain di sekitarnya.
Longman Dictionary of Contemporary English mendefinisikan ‘guru’ sebagai seseorang yang tahu banyak mengenai suatu hal, dan selalu berbagi pengetahuan itu kepada orang lain. Sayangnya, dalam Bahasa Indonesia modern, makna istilah ‘guru’ dipersempit menjadi “orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar”.
Dari kiprahnya di pemerintahan, Bambang Widianto, memang dikenal luas sebagai seorang birokrat. Namun, menurut kesaksian orang-orang dekatnya, ia tidak cukup disebut sebagai seorang birokrat, melainkan juga sebagai seorang teknokrat. Ya, teknokrat adalah cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan.
Menilik riwayat hidupnya, Bambang Widianto tidaklah cukup disebut sebagai birokrat ataupun teknokrat. Namun, ia pantas pula disebut sebagai ‘guru’. Tentu saja, ia bukanlah ‘guru’ dalam arti sempit yaitu ‘sebagai seorang yang mata pencahariannya mengajar’. Sebab, pekerjaan utamanya adalah mengbadi di pemerintahan. Ia menjadi ‘guru’ karena merasa terpanggil untuk membagikan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang ia miliki kepada orang lain, terutama para birokrat muda, supaya mereka juga dapat mengabdi kepada bangsa dan negara secara berintegritas.
Spirit berbagi itulah yang membuat Bambang Widianto bolak-balik ke dua kampus perguruan tinggi hebat, selama hampir tiga dekade tanpa jeda. Pada lembaran riwayat hidupnya, ia tercatat, sebagai dosen senior di Universitas Indonesia (UI) sejak 1990 hingga sekarang. Di Program Pascasarjana Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi UI itu, ia ikut mengembangkan kurikulum di bidang ekonomi politik, mengajar, dan membimbing penelitian untuk lulusan pascasarjana.
Selain itu, ia adalah dosen senior di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA–LAN) Jakarta yang berlokasi di Jl. Administrasi II, Pejompongan, Jakarta Pusat 10260, mulai 2002 hingga sekarang. Dia itu sangat sibuk. Boleh dibilang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara nyaris 24 jam penuh dalam sehari. Meski demikan, ia masih meluangkan waktu untuk mengajar.
Meski tak pernah mengumbar cerita, dengan menjadi ‘guru’ selama 29 tahun tanpa jeda, Bambang Widianto seakan ingin memproyeksikan visinya bahwa “hidup ini adalah sebuah pengabdian total kepada sesama (bangsa dan negara)”. Lebih dari itu, dengan menjadi guru, ia seakan ingin menggarisbawahi sebuah keyakinan bahwa siapa pun, terutama mereka yang memiliki banyak talenta, baik dalam rupa ilmu pengetahuan, keahlian maupun pengalaman, harus bersedia menularkannya kepada orang lain.
Dengan begitu, akan muncul semakin banyak orang yang mampu berpartisipasi dan berkontribusi dalam upaya memajukan bangsa dan negara.
Komitmen BPJAMSOSTEK Vaksinasi Seluruh Karyawan