INDOWORK, JAKARTA: Presiden Joko Widodo dalam suratnya kepada DPR pada Senin, 26 Agustus 2019, resmi memutuskan wilayah Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kertanegara sebagai lokasi pembangunan ibu kota baru Republik ini. Terkait dengan rencana besar tersebut, Pemerintah segera menyiapkan rancangan undang-undang yang mengatur pemindahan ibu kota tersebut kepada DPR.
Sedari awal, Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti bahwa pendanaan pembangunan ibu kota baru tersebut tidak akan membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Hanya sekitar 19,2% dari total estimasi biaya megaproyek atau sekitar Rp93,5 triliun yang berasal dari APBN.
Sebagian besar biaya pembangunan akan berasal dari skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yakni berupa kerja sama pengelolaan aset di ibu kota baru dan di DKI Jakarta. Besarannya mencapai 54,6% dari total kebutuhan dana atau Rp265,2 triliun.
Sisanya, kebutuhan Rp127,3 triliun atau 26,2% dari total biaya pembangunan ibu kota baru akan dipenuhi lewat investasi langsung dari swasta atau BUMN. Misalnya untuk pembangunan perumahan umum, perguruan tinggi, bandara, pelabuhan, jalan tol, sarana kesehatan, dan pusat perbelanjaan.
PROYEK MONUMENTAL
Sebagai sebuah megaproyek, ibu kota baru Kalimantan Timur tersebut jelas bakal menjadi karya monumental. Sebagai sebuah karya monumental, umurnya pasti dalam hitungan puluhan bahkan mungkin ratusan tahun. Generasi cucu dan cicit kita nanti akan menjadi ‘hakim’ atas hasil kerja besar ini. Tentu kita tidak ingin, semua keras mewujudkan land mark baru Indonesia itu sekadar dipandang sebagai proyek mercusuar. Bersinar ke luar, suram ke dalam.
Sekali kayuh, dua tiga pulau dilewati. Begitu kata pepatah. Bagi dunia konstruksi nasional, megaproyek perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur tentu sebuah pasar yang besar dengan berbagai aneka pekerjaan. Rencana raksasa itu sekaligus juga menjadi peluang bagi para pelaku industri di sektor ini untuk membuktikan diri bahwa mereka bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Boleh dibilang, hampir semua teknologi yang terkait dengan proyek infrastruktur sudah bisa ditangani oleh anak bangsa ini. Tentu, sudah sewajarnya bahkan mungkin seharusnya apabila pemerintah menomorsatukan perusahaan domestik—baik swasta maupun BUMN—untuk menggarap aneka proyek yang muncul dari rencana pemindahan ibu kota baru di Pulau Kalimantan itu.
Dalam sejarah dunia konstruksi Indonesia, pembangunan proyek infrastruktrur skala raksasa biasanya bersifat tunggal. Misalnya, pembangunan pembangunan fasilitas olahraga yang sekarang bernama Gelora Bung Karno yang pemancangan tiang pertamanya dimulai pada Februari 1960, Monumen Nasional atau Monas (dibangun mulai 17 Agustus 1961) serta beberapa proyek seperti Taman Mini Indonesia Indah, bandara Soekarno Hatta, dan bendungan berskala raksasa pada masa Orde Baru.
Orde Reformasi pun giat membangun infrastruktur seperti jalan tol di berbagai wilayah, pelabuhan, bandara, dan juga jembatan atau bendungan besar. Salah yang dianggap monumental tentu pembangunan proyek mass rapid transit (MRT) di tengah kota Jakarta.
SINERGI ANEKA PEMBANGUNAN
Megaproyek ibu kota baru tentu tidak bersifat tunggal. Untuk membangun sebuah kota yang dikonsepkan menjadi smart city sekaligus forest city seperti yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate tentu memiliki tingkat kesulitan yang jauh di atas pengerjaan infrastruktur yang sifatnya tunggal. Tentu peran pemerintah menjadi sentral dalam urusan mensinergikan aneka pembangunan di sana sehingga segala sesuatunya sesuai rencana.
Pengembangan ibu kota baru pun bisa menjadi ajang bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf merealisasikan visi lima tahun Kabinet Indonesia Maju. Ada tiga butir dari lima visi yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi yang menurut penulis terkait dengan rencana besar itu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Butir kedua dalam lima visi Kabinet Indonesia Maju yang disampaikan Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur akan dilanjutkan agar mampu menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi dan mempermudah akses ke kawasan wisata. Selanjutnya ketersediaan infrastruktur itu diharapkan mampu mendongkrak lapangan kerja baru yang pada akhirnya akan mengakselerasi nilai tambah bagi perekonomian rakyat. Poin ini jelas berhubungan langsung dengan dunia konstruksi di sini.
Ibu kota baru di Kalimantan Timur bisa menjadi milestone pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah di Indonesia meski selama ini pemerintah sudah begitu gencar mengembangkan daerah di luar Pulau Jawa, misalnya. Megaproyek tersebut pastilah memiliki efek simultan terhadap berbagai kegiatan ekonomi dan bisnis di Kalimantan.
Sebagai contoh adalah aktivitas PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) tempat penulis bekerja, membangun pembangunan plant Penajam di Penajam Paser Utara. Fasilitas seluas 11,6 hektare yang ditargetkan selesai pada awal 2020 memiliki kapasitas produksi sebesar 250.000 ton per tahun. Plant tersebut ini akan memproduksi produk box girder, PCI girder, CCSP, square pile,U Ditch, dan produk pre-tension. Selain fasilitas penunjang seperti area produksi, workshop, dan area pengolah limbah, perseroan memiliki rencana memiliki dermaga sendiri di Teluk Balikpapan.
Pembangunan plant di Kalimantan Timur dan juga dermaga di Teluk Balikpapan tersebut dilakukan untuk mempermudah akses pengiriman produk precast langsung ke pulau-pulau lainnya. Dengan strategi itu diharapkan ketergantungan proyek infrastruktur wilayah tengah dan timur Indonesia kepada Pulau Jawa semakin berkurang. Lebih dari itu, WSBP berharap bisa menyerap pasar regional Asia Tenggara.
Efek simultan pemindahan ibu kota sejalan juga dengan butir kelima dari visi Kabinet Indonesia Maju yakni transformasi ekonomi. Dalam bahasa Presiden Jokowi, Indonesia harus mampu mentransformasi diri dari ketergantungan yang begitu besar pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sektor konstruksi pun sudah memberikan kontribusi yang jelas terhadap perekonomian Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa selama periode 2014-2018, sumbangan sektor konstruksi terhadap produk domestik bruto/PDB berkisar 9%-10%, dari nilai PDB atau lebih dari Rp10.000 triliun. Sementara itu, hingga akhir kuartal II tahun 2019, kontribusi sektor konstruksi dalam perekonomian Indonesia mencapai 10,37% atau tumbuh 5,69%.
Sektor konstruksi pun memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja. Sampai dengan Februari 2019, industri ini menyerap 5,89% dari total penduduk bekerja yang berjumlah 129,36 juta orang, atau meningkat 0,34% dari Februari 2018.
Dari sederet data tersebut, tentu harapan agar megaproyek ibu kota baru di Kalimantan Timur menjadi milestone bagi industri konstruksi di Indonesia bukan sesuatu hal yang berlebihan. Lebih dari itu, kita tidak berharap ada ‘mercusuar’ baru di Penajam Paser Utara. (Agus Wantoro, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pracetak dan Prategang Indonesia/AP3I)
Tanggul Pulau Pramuka Makin Keren, Rampung Sebelum Lebaran