Headline INFRASTRUKTUR

Analisis Biaya-Manfaat Listrik Digagas oleh TNP2K, Ditujukan untuk Rakyat



single-image

INDOWORK, JAKARTA: Meskipun baru menjadi terkenal di kalangan ekonom dalam beberapa dekade terakhir, topik analisa biaya manfaat (cost-benefits analysis) telah hadir sejak lama. Di bidang pasokan listrik, model analisa biaya-manfaat makin populer.

Mengutip Perst dan Turvey (1965, 681), Tshimangadzo Booi Tremeli (Januari, 1991) menyatakan bahwa analisa biaya manfaat diperkenalkan oleh seorang insinyiur Perancis, Jules Dupuit (1804-1866). Dalam pembahasannya, Dupuit mencakup beragam topik seperti identifikasi manfaat, surplus konsumen, diskriminasi harga, kualitas produk, efisiensi dan distribusi manfaat, dan peran negara dalam perkeretaapian.

Selanjutnya Alfred Marshall, sorang ahli ekonomi dari Inggris pada 1890-an, mengaplikasikan model analisa gagasan tersebut sebagai pendasaran untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan publik. Sumbangan terbesarnya adalah menunjukkan perilaku konsumen dalam membeli suatu barang. Dia mengatakan bahwa konsumen akan membeli suatu barang jika manfaat marginalnya lebih besar daripada biaya marginalnya.

Saat ini, analisis biaya-manfaat digunakan oleh pemerintah di seluruh negara maju dan berkembang sebelum membuat keputusan investasi di sektor infrastruktur publik seperti irigasi, tenaga listrik, air, dan transportasi. Di bidang pasokan listrik, model analisa biaya-manfaat mulai diperkenakan pada akhir 1950-an dan awal 1960-an oleh para ekonom di negara-negara seperti Prancis, Uni Soviet, Inggris dan Skotlandia (https://core.ac.uk/download/pdf.)

KOMPONEN BIAYA

Secara teoritis, kelompok komponen dalam model analisis ini yaitu komponen biaya dan komponen manfaat. Komponen biaya meliputi lima kategori utama, yaitu:

1). Biaya persiapan operasi (start-up cost);

2). Biaya pengadaan (procurement cost);

3). Biaya proyek (project-related cost);

4). Biaya operasi (ongoing cost),

5). Biaya perawatan (maintenance cost).

Dalam konteks reformasi kebijakan subsidi listrik, komponen biaya dapat diartikan sebagai sejumlah dana yang ditanggung dan beban kerja/tanggung jawab yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan (stakeholders).

Sebagai penggagas kebijakan subsidi kistrik tepat sasaran (SLTS), Tim Nasioal Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) memikul biaya persiapan kebijakan SLTS (start-up cost). Biaya ini muncul karena faktor-faktor sebagai berikut:

Pertama, ketika TNP2K menerima tanggung jawab dari Kemensos mengelola dan mengkaji DTPFM.

Kedua, ketika TNP2K merancang skema reformasi (start-up cost).

Sedangkan biaya pengadaan (procurement cost) muncul tatkala pada 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) meng-update atau melakukan pemutakhirkan DTPFM. Proses ini meliputi dua kegiatan utama yang penting, yaitu:

  1. Forum Konsultasi Publik (FKP), yakni pertemuan antara masyarakat dan Pemerintah Desa/Kelurahan yang difasilitasi oleh pendamping (fasilitator) independen untuk memutakhirkan data rumah tangga yang akan digunakan sebagai informasi daftar awal, dan untuk menjangkau rumah tangga miskin yang belum tercakup dalam DTPFM. FKP dilakukan di tingkat Desa/Kelurahan, kecuali untuk wilayah padat penduduk yang dilakukan pada tingkat dusun atau RW.
  2. Pendataan rumah tangga, yakni kunjungan ke masing-masing rumah tangga sesuai daftar hasil FKP untuk memutakhirkan informasi serta mensurvei masing-masing rumah tangga terkait dengan informasi kondisi rumah, sosial dan ekonomi anggota rumah tangga, kepemilikan aset serta kepesertaan program.

Dasar pemberian SLTS berasal dari Pemutakhiran DTPFM 2015 yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 32/HUK/2016.

DATA TERPADU

Bambang Widianto
Bambang Widianto

Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto menjabarkan bahwa Data Terpadu mencakup informasi nama, alamat, dan kondisi sosial-ekonomi dari 40% rumah tangga atau sekitar 25,7 juta rumah tangga atau setara dengan 93 juta jiwa dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia. Namun, TNP2K menemukan bahwa Data Terpadu memiliki tingkat ketidakakuratan sebesar 15% atau sekitar 4 juta dari 30 juta jiwa karena exclusion error.

Kategori biaya ketiga yaitu biaya proyek (project-related cost) merupakan beban  pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan.  Yang dimaksudkan dengan biaya proyek adalah beban subsidi atau harga dibayar oleh pemerintah kepada PT PLN (Persero). Harga tersebut  dihitung berdasarkan selisih antara harga pokok penjualan untuk tegangan rendah dengan tarif dasar listrik dikalikan dengan jumlah kWh yang dikonsumsi para pelanggan.

Sesuai amanat Undang-Undang Energi dan Undang-Undang Ketenagalistrikan, subsidi untuk konsumen listrik diberikan kepada konsumen atau rumah tangga miskin dan kurang mampu, dengan kapasitas terpasang kurang dari 450 VA dan 900 VA.

Sebagai pemilik kebijakan, Kementerian ESDM memikul biaya proyek (project-related cost) juga. Biaya ini muncul tatkala Kementerian ESDM menyusun mekanisme kebijakan SLTS. Mekanisme kebijakan SLTS terdiri atas:

  • Tahap koordinasi dengan Kementerian lain seperti Kemensos, Kemendagri, Kemenkeu, PT PLN dan TNP2K;
  • Tahap perancangan penyesuaian tarif berdasarkan Permen SDM No.28 Tahun 2016;
  • Tahap sosialisasi kebijakan SLTS kepada masyarakat.

Biaya proyek menjadi beban PT PLN juga. Beban ini muncul ketika PT PLN mendapat amanat dari Menteri ESDM untuk melakukan pencocokan data rumah tangga pelanggan listrik  900 VA dengan DTPFM.

Selain menanggung biaya proyek, Kementerian ESDM dan PT PLN juga memikul biaya operasi (on going cost). Biaya ini akan muncul saat Kementerian ESDM dan PT PLN mulai menerapkan dan melakukan pengawasan terhadap proses pelaksanaan Kebijakan SLTS.

Selanjutnya, Kementerian ESDM bersama PT PLN dan Kemendagri akan berhadapan dengan biaya perawatan (maintenance cost) kebijakan SLTS. Biaya ini timbul ketika ketiga institusi itu menangani  pengaduan masyarakat akan kebijakan SLTS sebagaimana diatur oleh Permen ESDM No. 29 Tahun 2016 tentang Mekanisme Pemberian Subsidi Tenaga Listrik untuk Rumah Tangga dan Surat Edaran Mendagri No.671/4809/SJ Tahun 2016 tentang Dukungan Penanganan Pengaduan Kebijakan Subsidi Tepat Sasaran.

KOMPONEN MANFAAT

Komponen manfaat dalam analisis biaya-manfaat meliputi:

  • Manfaat mengurangi biaya;
  • Manfaat mengurangi kesalahan-kesalahan;
  • Manfaat meningkatkan kecepatan aktivitas, termasuk pelayanan lebih baik kepada pelanggan;
  • Manfaat meningkatkan perencanaan dan pengendalian manajemen.

Dalam konteks kebijakan subsidi listrik, rancangan kebijakan SLTS berpotensi menekan biaya subsidi dan meminimalisasi kesalahan pemerintah, mengucurkan dana subsidi ke sasaran yang tidak tepat. Contoh, pada tahun anggaran 2015, subsidi listrik untuk 45,1 juta pelanggan rumah tangga R-1/450 VA dan R-1/900 VA mencapai Rp49,32 triliun (87,21%) dari total subsidi listrik sebesar Rp56,55 triliun.

Padahal tidak seluruhnya rumah tangga tersebut merupakan masyarakat miskin dan tidak mampu. Berdasarkan hasil pencocokan data pelanggan PLN dan DTPFM, diketahui dari 23 juta pelanggan umah tanggal R-1/V900VA, terdapat 4,1 juta rumah tangga mampu yang turut menikmati subsidi. Melalui reformasi kebijakan subsidi, pemerintah dapat menghemat anggaran sekitar Rp20 trilun.

Penghematan anggaran subsidi listrik membuat pemerintah memiliki ruang fiskal untuk membangun infrastruktur, termasuk pembangkit tenaga listrik baru guna mengakselerasi rasio elektrifikasi. Pada sisi lain, reformasi subsidi listrik membuka ruang yang makin lebar  bagi Kementerian ESDM dan PT PLN untuk meningkatkan efisiensi produksi dan operasi ketenagalistrikan.

 

Berita Lainnya