JAKARTA, INDOWORK: Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menjalani ini sebagai kenyataan hidup. Ya, kita hidup di era kenormalan baru alias New Normal. Sebagai kaum jurnalis, hidup di era apa pun sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, karena pedoman hidup profesional kaum jurnalis tentu saja prinsip jurnalisme. Prinsip ini seyogianya lah menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadian seseorang yang mengaku dirinya sebagai reporter, wartawan, jurnalis, pewarta, atau yang sejenis itu.
Ahmad Djauhar, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, menejlaskan bahwa prinsip sebagai jurnalis tersebut berlaku universal, di segala tempat, dan setiap saat. Dalam menyampaikan informasi, seorang jurnalis haruslah berpegang pada ketentuan untuk selalu memverifikasi kebenaran informasi tersebut, sekuat tenaga. Tidak boleh ada satupun informasi yang keluar dari diri seorang jurnalis tanpa melalui pengecekan silang, guna memastikan bahwa informasi tersebut haruslah betul-betul memiliki nilai kebenaran, tidak boleh mengandung kesesatan apatah lagi kepalsuan alias hoax.
Menyampaikan kebenaran haruslah menjadi gaya hidup seorang jurnalis. Tak heran dalam melaksanakan tugas profetik ini, tentu saja tidak sedikit hambatan yang harus dihadapi seorang jurnalis, termasuk hambatan yang berupa ego antara lain ingin menjadi yang pertama mengabarkan suatu informasi kepada khalayak. Akibatnya, terkadang yang bersangkutan lalai atau bahkan abai terhadap serangkaian ketentuan yang mewajibkan dirinya untuk untuk mengupayakan verifikasi terhadap kebenaran informasi tersebut.
Kalau sudah demikian, informasi telanjur tersiar kepada khalayak, ternyata ada unsur ketidakbenaran pada kabar atau berita itu, yang dituai tentu saja ketidakpercayaan khalayak terhadap dirinya. Dapat dipastikan penyesalan lah yang akan ditanggungnya. Selain penyesalan pribadi, institusi media tempatnya bernaung pun pasti menerima tudingan sebagai lembaga yang tidak kredibel. Sudah barang tentu, hal itu akan mengurangi nilai jurnalisme yang diusungnya.
Akan halnya jurnalisme di era Pendemi Covid-19 dan setelahnya, yang sering diramaikan dengan istilah new normal itu, tentu saja tidak banyak berbeda dari masa-masa sebelumnya, prinsip yang diusung tetaplah sama. Hanya saja, lansekap media maupun model peliputan yang mungkin berubah.
BANTUAN BAGI PERS
Pemerintah—sebagai representasi negara—sudah selayaknya memberikan bantuan kepada institusi pers di negeri ini, mengingat pers terbukti menjadi—dan memiliki peran sebagai—pilar penting demokrasi. Lihatlah sejumlah negara di Eropa yang justru mengambil inisiatif untuk menghidup-hidupkan pers karena mereka tetap sadar dan yakin bahwa hanya dengan keberadaan pers lah justru kesinambungan demokrasi terjaga.
Kabar bahwa sejumlah pemerintah Eropa membantu kesulitan finansial yang dihadapi sejumlah institusi media itu bukanlah isapan jempol belaka. Tengok misalnya Norwegia yang menawarkan paket bantuan senilai 27 juta euro—sekitar Rp435 miliar—guna menyelamatkan dan menjaga pluralitas media di negeri itu.
Seperti diwartakan oleh media milik European Journalists Federation, Paket tersebut diperkirakan dapat membantu meringankan hingga 60 persen dari kerugian finansial yang diderita oleh industri media akibat pandemi Covid-19 tersebut. Industri media di Norwegia mengalami penurunan omzet setidaknya 20% dari awal Maret hingga pertengahan Juni sebagai akibat dari wabah tersebut.
Media lokal dan regional juga menerima dukungan dari paket tersebut jika mereka melaporkan kerugian akibat pandemi itu di atas 15%. Jumlah maksimum yang dapat diberikan kepada masing-masing media adalah 1,4 juta euro—sekitar Rp22,56 miliar—dan akan lebih rendah jika media tersebut melakukan PHK atau lembaga pers itu memperoleh paket bantuan darurat lainnya.
Paket itu diluar pembebasan PPN tentu saja. Pembebasan yang dimulai 1 Juli itu bersifat permanen, dengan perkiraan nilai total mencapai dan diperkirakan bernilai Rp37,42 miliar per tahun. Paket darurat tersebut merupakan upaya segenap pihak yang memiliki kepedulian terhadap eksistensi media di negeri itu, dan hampir tak beda dengan Indonesia, serikat jurnalis bersama organisasi media secara intens meminta dukungan negara. Semula, mereka meminta hampir Rp2 triliun meskipun akhirnya dikabulkan ‘hanya’ seperempatnya. Bantuan itu, oleh kalangan asosiasi media dan jurnalis setempat, dinilai akan membantu wartawan untuk dapat tetap bekerja, sehingga masyarakat lah yang diuntungkan karena tetap memperoleh informasi selama pandemi.
Sedangkan media di negeri ini hingga kini masih menunggu-nunggu uluran tangan negara via pemerintah, karena sejauh ini belum ada bantuan spesifik yang mereka terima, padahal kehidupan media sudah benar-benar Senin-Kamis alias sangat berat, terlebih lagi bagi media di luar Jakarta.
Kepedulian tinggi masyarakat Eropa terhadap media tersebut mengingatkan kita kepada ucapan terkenal Presiden ketiga Amerika Serikat Thomas Jefferson pada 1766 yang jika diberi dua pilihan sulit manakah yang akan dipilihnya Jurnalisme tan pemerintahan ataukah pemerintahan tanpa jurnalisme, dia jelas-jelas menjatuhkan pada pilihan pertama.
ANDALKAN BUZZER?
Begitu besarnya kepercayaan Jefferson terhadap eksistensi jurnalisme itu sangat beralasan, mengingat jurnalisme atau pers memiliki fungsi yang sangat penting bagi perikehidupan masyarakat yakni fungsi kontrol sosial, yang harus berani mengingatkan apabila pemerintah berbuat salah. Bukan justru mendiamkannya saja, atau bahkan membebek mengikuti segala kemauan penguasa. Kalau sudah begitu, rakyat akan merasa menjadi sebagai golongan yatim-piatu, tidak ada yang akan melindungi ketika mereka mengalami atau menghadapi pemerintahan yang represif.
Karena itu, sangat beralasan bahwa pemerintah lah yang seharusnya menjaga agar daya hidup pers nasional terjamin, bukan justru terdapat kesan ‘biarkan pers nasional mati saja’, toh sekarang ada para buzzer yang akan membela semua hal yang datangnya dari—dan demi menyenangkan—pemerintah. Kawanan itulah yang kini mengusung semangat wright or wrong is the government, hal ini begitu kentara ketika kasus Covid-19 mulai merebak. Media pers sedemikian gencar mengingatkan agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah cerdas untuk menjaga agar negeri ini tidak mengalami tingkat keparahan akibat bencana pandemic tersebut. Alih-alih mendengarkan suara media/pers, pemerintah justru memilih jalan sendiri yang ternyata tidak sejalan dengan masukan berbagai kalangan yang lebih paham dan mengerti soal pandemi ini. Terbukti sekarang, tak kurang dari Presiden Jokowi yang menyatakan secara terbuka bahwa dirinya merasa jengkel terhadap kinerja timnya di Kabinet yang dianggapnya tidak menunjukkan kemajuan atas penanganan pandemi, sehingga dia mengancam akan melakukan reshuffle anggota kabinet yang dipimpinnya tersebut.
Indonesia kini menjadi episentrum baru pandemi Covid-19 di Asia Tenggara, bahkan Asia, dan korban angka penderita infeksi Covid-19 terus menanjak tinggi, di saat sejumlah negara di Asia berangsur-angsur mengalami pemulihan. Per 1 Juli 2020, total jumlah penderita yang terinfeksi virus Covid-19 ini mencapai angka 57.770 jiwa, dengan angka kesembuhan 25.595 jiwa, dan meninggal 2.934 jiwa. Isu yang berkembang di kalangan masyarakat pun beragam, bahwa kondisi new normal ini seakan dipaksakan karena pemerintah melayani desakan sejumlah pengusaha agar segera menormalkan suasana sehingga aktivitas ekonomi segera dapat dipulihkan, meskipun hal itu semu atau seolah-olah adanya.
Sudah saatnya pemerintah kembali mendengarkan suara media pers nasional yang selalu berusaha mengusung jurnalisme, karena itu merupakan suara kejujuran yang dapat dipercaya, bukan justru memercayai barisan buzzer yang lebih memilih sikap ABS alias Asal Bapak Senang, yang ternyata berpotensi menyesatkan dan merugikan bangsa tersebut.
RELOKASI IBU KOTA – Dari Jaman Mesir Kuno hingga Awal Abad ke-21 (6)