JAKARTA, INDOWORK: Indonesia telah lama berhadapan dengan persoalan ketenagalistrikan yang kompleks. Hingga kini pun, negara ini masih saja bergulat dengan masalah-masalah seperti keterbatasan infrastruktur kelistrikan, minimnya volume produksi dan pasokan tenaga listrik, distribusi listrik yang tidak merata, tarif listrik yang belum mencapai nilai keekonomian, subsidi listrik yang sangat besar dan tidak tepat sasaran, tingkat efisiensi PT PLN (Persero) yang masih rendah, serta bauran energi yang masih minim.
Apabila dibedah lebih jauh, upaya pembangunan infrastruktur pembangkit listrik pun terjerat banyak persoalan. Contoh, kontrak kerja sama dengan pihak penyedia listrik swasta yang tersendat karena pemerintah masih enggan melepas status monopoli PT PLN (Persero). Selain itu, terdapat banyak proyek pembangunan pembangkit listrik yang mangkrak akibat minimnya investasi, ditambah proses perijinan, pembebasan lahan, dan penanganan masalah teknis lainnya yang tidak tuntas.
Pada sisi lain sudah sejak lama pula pemerintah melakukan berbagai upaya untuk keluar dari persoalan itu. Misalnya, mengantisipasi krisis listrik di Jawa-Bali pada 2004-2005, meningkatkan penerimaan PLN sebesar Rp7,5 triliun, dan menciptakan ruang gerak yang cukup di APBN pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 89 Tahun 2002, pada 2003. Berdasarkan Kepres tersebut pemerintah memberlakukan kenaikan tarif dasar listrik dilakukan per tiga bulan sebesar 6% mulai Januari 2003 dan hanya berlaku pada 2003 (hhtp://perpustakaan.bapenas.go.id).
Selanjutnya, sejak diberlakukan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan dan kebijakan di dalam pengelolaan sektor ketenagalistrikan. Salah satu tujuan dari UU No. 30 Tahun 2009 adalah tercapainya harga tenaga listrik sesuai dengan keekonomiannya. Untuk mencapai tujuannya tersebut, pemerintah merestrukturisasi tarif tenaga listrik dan memberlakukan kebijakan subsidi.
MASALAH PELIK
Marihot Nasution (Buletin APBN, 2016) menyebutkan bahwa penerapan kebijakan subsidi listrik ternyata menimbulkan persoalan tersendiri. Hasil temuan Badan Kajian Fiskal (BKF) dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) mengungkapkan bahwa kebijakan subsidi listrik yang diberlakukan hingga 2014 mendorong penggunaan listrik yang boros. Berdasarkan data Susenas dan data PT PLN (Persero) 2014, konsumsi listrik rata-rata per bulan mencapai 80-100 kWh (R1-450 VA) dan 140 kWh per bulan (R1-900 VA). Angka tersebut jauh di atas kebutuhan listrik yang wajar yang diperkirakan sekitar 60 kWh.
Sebelumnya Data Susenas 2013 dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa kebijakan subsidi listrik membuat pemerintah harus memikul beban fiskal yang berat. Pada 2012, misalnya, subsidi listrik membebani pemerintah sebesar Rp103,3 triliun. Melalui sebuah program reformasi yang ambisius, sejak 2013 pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah penting untuk mengurangi beban subsidi ini. Reformasi ini termasuk menaikkan tarif listrik pada tingkat yang lebih mencerminkan biaya produksi, dengan pengecualian untuk konsumen yang menggunakan sambungan daya listrik kecil, termasuk golongan miskin. Pada 2015 pemerintah menetapkan kebijakan penerapan tarif non-subsidi pada 12 konsumen mampu. Kebijakan tersebut berhasil mengurangi anggaran subsidi listrik secara signifikan menjadi sebesar Rp56,5 triliun.
Masalah pelik lainnya berkenaan dengan kebijakan subsidi listrik adalah penyalurannya yang tidak tepat sasaran. Hal itu bisa dilihat dari data Susenas 2013 seperti tertera pada foto grafik.
Berdasarkan grafik tersebut, kelompok miskin dan tidak mampu di Indonesia sesuai kriteria BPS jumlahnya mencapai 40%. Mereka hanya menerima sekitar 26% dari subsidi listrik yang diluncurkan oleh pemerintah. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok Desil 1 sampai dengan Desil 4. Kelompok Desil 1 menerima subsidi listrik berkisar dari Rp64,393 per bulan, diikuti kelompok Desil 2 senilai Rp73,420, kelompok Desil 3 senilai Rp82,906, dan terakhir kelompok Desil 4 senilai Rp94,078.
Kelompok Desil 5 sampai dengan Desil 10, menurut BPS, termasuk kategori mampu atau kaya. Kelompok Desil 5 menerima membayar subsidi Rp109.050, Desil 6 senilai Rp122.342, Desil 7 senilai Rp134.902, Desil 8 senilai Rp148.968, Desil 9 senilai Rp163.569, dan terakhir Desil 10 menerima senilai Rp168.390. Dari keseluruhan subsidi yang dikucurkan pemerintah, kelompok Desil 5 sampai Desil 10 ini menerima lebih dari 70% bantuan di bidang energi tersebut.
TIDAK TEPAT SASARAN
Data Susenas dan BPS tersebut tentu menggambarkan bahwa subsidi listrik yang berjalan sebelum reformasi kebijakan Subsidi Listrik Tepat Sasaran (SLTS) secara mendasar tidak tepat sasaran. Kenyataan di lapangan, kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu justru mendapatkan porsi yang lebih besar dari subsidi yang dikucurkan oleh pemerintah. Hal itu bisa terjadi karena perbedaan tingkat konsumsi listrik di masing-masing rumah tangga. Semakin mampu satu keluarga, makin tinggi pula pemakaian listrik rumah tangga yang bersangkutan.
Menurut data yang diolah TNP2K, rumah tangga penduduk miskin yang menjadi pelanggan 450 VA menggunakan listrik rata-rata per bulan sebesar 86 kWh dengan angka pemakaian listrik rumah tangga miskin adalah 67,56 kWh. Dengan harga jual listrik dari PLN di angka Rp416/kWh, besaran subsidi yang mereka terima sebesar Rp984 per kWh. Dengan begitu, rumah tangga miskin di Indonesia menerima subsidi sebesar Rp66.000 per bulan.
Sementara itu, rumah tangga mampu atau kaya di Indonesia menggunakan listrik rata-rata per bulan sebesar 124 kWH. Dengan angka harga jual listrik PLN di Rp585/kWh, besaran subsidi yang mereka terima adalah Rp815/kWh atau sekitar Rp101.000 per bulan.
Pertanyaannya, siapa yang salah sehingga muncul keadaan seperti di atas? Mengapa kelompok rumah tangga mampu yang justru menikmati lebih banyak subsidi listrik yang dikucurkan pemerintah dibandingkan dengan kelompok miskin?
Memang sebaiknya tidak perlu menunjuk siapa yang salah dari kebijakan tersebut. Pasalnya, pendekatan subsidi ketika itu memang menetapkan bahwa pelanggan PLN untuk kategori 450 VA dan 900 VA secara langsung akan mendapatkan subsidi. Jadi ketika ada orang yang memasang listrik di dua kategori ini, mereka secara otomatis mendapatkan subsidi. Tidak dilihat mereka masuk kategori miskin atau tidak.
JOKOWI UBAH PARADIGMA
Pada pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah mengubah paragdigma penyaluran subsidi di sektor energi listrik ini. Melalui kebijakan SLTS, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi atas komoditasnya, dalam hal ini tarif listrik, akan tetapi bantuan itu disalurkan kepada orang yang dipandang layak untuk mendapatkan bantuan pemerintah.
Intinya pemerintah mau subsidi listrik itu tepat sasaran. Caranya adalah tarif dasar listrik disamakan. Orang yang berhak mendapatkan subsidi diberikan kompensasi senilai kenaikan TDL yang dilepas ke harga pasar. “Namun karena belum bisa terlaksana, maka [subsidi] diberikan ke PLN, hanya orangnya yang ditentukan [siapa] yang berhak,” ungkap Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto pada wawancara 10 April 2019.
Menurut Bambang, idealnya setiap subsidi yang dikucurkan pemerintah sudah fix besarannya dan tidak dalam bentuk barang jadi. Misalnya dalam sebulan ditentukan jumlahnya dan diberikan dalam mekanisme bantuan tunai. Idealnya Rp60.000 per bulan untuk yang 450 Watt dan Rp100.000 untuk kategori 900 Watt. Bagaimana kalau mereka pakai lebih dari itu? Mereka tanggung sendiri. Sebaliknya kalau mereka pakai lebih hemat, mereka tidak perlu bayar listrik seumur hidupnya. “Ini ide dasarnya, karena mendorong efisiensi.”
Stasiun Pondok Rajeg Depok Siap Beroperasi Lagi Tahun 2022