INDOWORK, JAKARTA: Dalam Webinar untuk memperingati ulang tahun ke-35 Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Ketua Prodi Geografi Pembangunan Universitas Udayana Prof. Baiquini mengemukakan hal yang positif dari pandemi Covid-19.
Hal positif itu adalah memberi ruang dan waktu bagi para pelaku industri pariwisata untuk melakukan step back, re thinking, dan evaluasi untuk kemudian melakukan perbaikan serta pembenahan atas berbagai layanan dan program yang telah dikembangkan.
Selain itu, para pelaku industri dapat memanfaatkan media sosial untuk menjangkau potential customer untuk brand awareness. Dengan begitu, kalau kondisi sudah pulih, industri bisa segera berjalan kembali.
KEMBANGKAN PARIWISATA ALTERNATIF
Sesungguhnya, lebih dari sekadar berbenah, industri pariwisata perlu merancang kembali model industri pariwisata pasca pandemi Covid-19. Berkenaan dengan ini guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof I Nyoman Darma Putra menyatakan , dalam menghadapi krisis akibat Covid-19, industri pariwisata perlu mengembangkan alternative tourism atau pariwisata alternatif.
Pada hakekatnya, pariwisata alternatif adalah sebuah bentuk pariwisata yang menggabungkan produk wisata atau layanan wisata individu, berbeda dari pariwisata massal, dengan cara memasok, mengorganisasi, dan sumber daya manusia yang terlibat. Istilah yang lain yang selaras dengan itu adalah “pariwisata cerdas (intelligent tourism)” atau “pariwisata yang termotivasi (motivated tourism).” Ada juga yang menyebutnya sebagai “anti-pariwisata (anti-tourism)” atau “pariwisata partisipatif (participative tourism)”.
Lewat artikelnya di Journal of Tourism Management (1981) L. A. Dernoi mengaitkan istilah “pariwisata alternatif” dengan gaya akomodasi. Menurut dia, pariwisata alternatif adalah suatu bentuk pariwisata di mana pengunjung ditampung di rumah-rumah penduduk setempat. Moda wisata alternatif ini biasa disebut sebagai wisata homestay, dimana wisatawan menerima layanan dan fasilitas lain yang tersedia di rumah-rumah penduduk.
Kemudian, dalam artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1988, Dernoi menambahkan fitur-fitur lain untuk pariwisata alternatif. Dia mengatakan, berbeda dari pariwisata konvensional, pariwisata alternatif melibatkan individu, keluarga, atau komunitas lokal. Mereka ini menawarkan secara pribadi kepada para pengunjung (wisawatan) serangkaian layanan perhotelan. Dengan demikian, pariwisata alternatif mendukung fasilitasi dan peningkatan kontak antara wisatawan dan penduduk serta kebudayaan setempat.
Selanjutnya, Franziska Herms (2008) menyatakan bahwa pariwisata alternatif dibedakan dari pariwisata konvensional dari beberapa aspek seperti jumlah dan tipe wisatawan, motivasi dan pilihan wisata dan akomodasi. Mengutip pendapat David A. Fennel, Herms menyebutkan bahwa filosofi di belakang kelahiran pariwisita alternatif adalah ‘…untuk memastikan bahwa kebijakan pariwisata tidak lagi terpusat pada ekonomi dan kepentingan teknis, melainkan lebih pada menekankan kebutukan akan lingkungan alam yang asri dan pemenuhan kebutuhan penduduk lokal.
Herms kemudian, mengembangkan konsep pariwisata altenatif dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a) Harus didasarkan pada dialog dengan penduduk setempat yang harus diberi tahu pengaruhnya, b) Harus ramah lingkungan dan menghubungkan rasa hormat dengan budaya lokal dan tradisi agama, c) Skala pariwisata harus disesuaikan dengan kapasitas daerah setempat untuk mengatasinya, diukur dalam istilah estetika dan ekologis.
Selaras dengan gagasan para pakar global di atas, I Nyoman Darma Putra mengemukakan bahwa dalam konteks Bali, alternatif pariwisata dapat memberikan branding baru industri pariwisata Bali. Cara yang dapat dilakukan adalah memberi nilai tambah kearifan lokal pada berbagai obyek wisata, dan menyasar pada pasar yang terbatas (niche market). Contoh adalah responsible tourism dengan obyeknya adalah organic farms. Dalam pariswisata tersebut, yang ditekankan bukan hanya leisure dan pleasure-nya saja tapi juga menikmati hal-hal yang sehat dan alami.
WISATA IMPIAN DI NTT
Yang menarik, dalam kesempatan webinar tersebut, para pembicara menyoroti mengenai masa depan pariwisata di NTT. Disebutkan, pariwisata pasca Covid-19 akan mengarah ke pariwisata impian yang menekankan treatment untuk healthy and wellness tourism. Dengan kata lain, yang menjadi wisata impian pada masa pasca Covid-19 adalah paket wisata yang menyatukan keindahan alam dan eksotisme budaya.
Menurut para pembicara, potensi paket wisata impian cukup besar terdapat di NTT. Pariwisata Colol di Manggarai Timur misalnya, adalah pariwisata yang berbasis pertanian kopi. Jika pelaku pariwisata di sana bersedia mengikatnya bersama paket eksotisme budaya lokal, maka pariwisata tersebut akan obyek wisata dominan setelah krisis. Kekuatan pariwisata Colol mulai menggeliat semenjak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur menetapkan Desa Colol sebagai Desa Wisata pada Jumat (23/8/2019). Kekuatan itu akan menjadi semakin nyata apabila rencana Pemkab Manggarai Timur menggelar festival lembah kopi Colol pada 6-11 Juli 2020 mendatang, jadi terlaksana.
Selain itu, adalah pariwisata rumah budaya Sumba yang dirintis oleh Peter Robert Ramone yaitu seorang Pastor dari Conggregatio Sanctismi Redeptoris. Selain dijadikan museum dan pusat penelitian budaya Sumba, lokasi ini juga kerap menjadi tempat pementasan seni, diskusi budaya, dan toko untuk mendapatkan beragam cenderamata khas Pulau Sumba. Di rumah ini para wisatawan juga bisa berdiri di pelataran diantara kedua gedung yang dijadikan sebagai panggung untuk pementasan seni dan budaya. Ketika berdiri persis diatas panggung, wisatawan akan merasakan seolah-olah berada di sebuah panggung sendiri dan memerankan sesuatu. Dengan begitu, rumah budaya Sumba menjadi salah satu wisata impian masa depan, karena di sini para wisatawan bisa lebih memahami dan mengenal tentang Sumba, baik manusia, budaya dan alamnya.
Potensi besar pariwisata NTT yang mungkin kurang disadari adalah wisata lambat (slow tourism). Dalam paket ‘wisata lambat’ para wisawatan dikondisikan untuk bergerak dengan kecepatan yang memungkinkan penemuan kembali. Yaitu menemukan kembali diri sendiri dengan kesabaran, ketenangan pikiran, pengalaman yang lebih dalam, pemahaman budaya yang lebih baik dan pengetahuan. Dalam paket wisata ini para wisatawan dilayani untuk melepaskan stres dan kecepatan perjalanan, dan menerima langkah lambat sebagai norma untuk melakukan perjalanan seseorang.
Gagasan utama ‘wisata lambat’ adalah untuk mengurangi “kuantitas” pengalaman dalam perjalanan, dan alih-alih fokus pada “kualitas” pengalaman. Ini adalah tentang memperlambat tempo mundur, sehingga wisatawan memiliki kemungkinan berinteraksi dengan penduduk dan tempat-tempat yang dikunjungi, daripada mencoba melihat banyak obyek, bertemu dengan banyak orang dan melakukan sebanyak mungkin kegiatan. Paket wisata ini biasanya didukung oleh program wisata berjalan kaki dan menulusuri laut atau sungai menggunakan sampan dayung.
Demikianlah, secuil pemikiran mengenai pariwisata NTT yang penulis tangkap dari sharing dan diskusi para pelaku dan pakar pariwisata dari webinar bertemakan ‘Tourism Resilience di Tengah Pandemi Covid-19, belum lama ini.
(Maria Leonora Ali)
LKB Siapkan Buku Referensi Betawi