INDOWORK, Jakarta – Dampak Covid-19 terhadap perekonomian semakin memburuk. Banyak kalangan berpendapat diperlukan stimulus dari pemerintah untuk menahan perlambatan bahkan kontraksi ekonomi hingga akhir 2020.
Banyak contoh negara di dunia yang memberikan stimulus fiskal pemerintah ini diperlukan untuk menangani wabah Covid-19, sekaligus membangkitkan perekonomian Indonesia.
Namun ada konsekuensi yang harus diterima dari langkah kebijakan tersebut yaitu defisit APBN. Bila hal itu terjadi berarti hutang Negara akan bertambah. Perlu dipikirkan bagaimana cara membayarnya?
Akan tetapi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan. Memang faktanya terjadi defisit APBN menjadi 6,34 persen atau setara Rp1.039,2 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) dari sebelumnya Rp1.028,5 triliun.
“Jangan permasalahan defisit. Pelebaran defisit lebih baik ketimbang terjadi resesi atau krisis ekonomi karena bisa memakan korban jutaan masyarakat miskin,” imbuhnya.
Pemerintah sebelumnya menyiapkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) No.54/2020 untuk menampung perubahan struktur fiskal yang digunakan untuk penanganan dampak pandemi Corona atau Covid-19.
Perpres Nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020. Perpres tersebut dikeluarkan Istana berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020.
Menkeu Sri Mulyani menambahkan perubahan Perpres ini diperlukan karena adanya sejumlah pergerseran dari tiga komponen utama APBN mulai dari penerimaan, belanja, dan pembiyaan.
Data Kemenkeu menunjukkan total outlook belanja APBN tahun 2020 mencapai Rp2.738,4 triliun atau lebih tinggi Rp124,5 triliun dari outlook Perpres No.54/2020. Angka per 2 Juni ini juga lebih tinggi skema outlook belanja negara yang kedua yakni Rp2.720,1 triliun.
Mengapa Peluncuran Jakarta Weltevreden di Lapangan Banteng?