INDOWORK, JAKARTA: Pademi Covid-19 yang berawal dari Wuhan, China, memang membawa banyak dampak buruk. Dampak langsung yang paling menohok adalah keselamatan jiwa manusia terancam. Dampak lanjutannya, kegiatan ekonomian melemah. Namun, siapa sangka, pandemi itu justru menimbulkan banyak inisiatif dan kreativitas.
Salah satu inisiatif muncul selama pandemi Covi-19 adalah gerakan membaca buku satu buku seminggu. Insiatif tersebut itu tampil dalam wujud sebuah grup WA yang bernama ‘seminggu sebuku’.
Selain melahap isi buku secara personal, anggota group ini juga berbagi pemahaman tentang buku yang ‘dikunyah’nya, lewat membuat resensi buku atau sekadar menulis beberapa kalimat di status WAnya. Bahkan, tak jarang anggota grup ini melakukan diskusi bedah buku secara virtual.

Meski anggota kelompok ‘seminggu sebuku’ belum massif, sekitar seratusan, namun gerakan seperti ini menjadi sebuah langkah ‘lawan arus’ di mana kebanyakan warga masyarakat enggan membaca karena dininabobokan oleh ‘bacaan super pendek’ di platform media sosial.
Gerakan ‘seminggu sebuku’ menjadi suatu penanda sekaligus peringatan bagi semua warga bahwa buku memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Ketika seseorang menggauli buku, ia merintis perubahan peradaban manusia. Mengapa? Ya, karena buku –meski tidak selalu- memuat data dan informasi yang dapat menunjang mutu kehidupan pribadi dan menentukan arah peradaban umat manusia.
ANEKA MANFAAT BUKU

Dari buku kita belajar tentang bagaimana membangun relasi dan mencintai sesama. Buku membantu kita mengatasi stres dan rasa takut. Buku meningkatkan kompetensi, mengasah ketrampilan bekerja, menghargai warisan budaya dan melestarikan lingkungan alam.
Penulis Joe Queenan mengatakan dirinya dapat ‘melahap’ sekitar 125 buku per tahun atau 7.000 dalam seumur hidup. Dengan banyak membaca buku, ia memiliki pandangan hidup yang lebih terbuka, bersikap lebih optimistis, lebih menaruh hormat pada orang lain, tak punya alasan untuk memfitnah, menghasut apalagi menghakimi orang lain. (https://www.npr.org/2012)
Memang, membaca buku merupakan cara terbaik untuk membuat pikiran kita makin bernas dan jiwa kita makin bening sehingga mengungguli orang lain. Penulis terkenal Mark Twain mencatat, “Orang yang tidak membaca tidak memiliki kelebihan atas orang yang tidak bisa membaca”.
Membaca, apalagi menulis buku, entah itu buku pendidikan, filsafat, hukum, sejarah, politik, ekonomi dan bisnis, psikologi, kesehatan, misteri, fiksi ilmiah dan novel membuat kita berbeda. Sebab. buku dapat membuka wawasan tentang tentang kebudayaan dan cara hidup yang berbeda. Buku juga dapat memotivasi kita melakukan hal-hal yang sebelumnya kita anggap mustahil untuk dikerjakan secara sukses. Buku dapat merangsang kita menelusuri sejarah masa lampau.
BANGKITKAN IMAJINASI

Buku juga membangkitkan imajinasi dan harapan tentang masa depan. Buku memperkenalkan ide-ide , cara kerja dan ketrampilan baru. Buku juga menawarkan bagi kita jalan alternatif dalam menapaki kehidupan.
Buku dapat membawa kita keluar dari dunia pribadi dan menggiring kita masuk ke perspektif, wawasan, gagasan dan pendapat orang lain. Buku ibarat guru yang memberi kita inspirasi untuk melakukan yang terbaik bagi kebaikan bersama. Singkat kata, tanpa buku mustahil kita dapat memiliki keadaban sebagaimana yang kita miliki sekarang.
Sayangnya, ,hingga kini buku belum mendapat tempat di hati kebanyakan orang Indonesia. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia per tahun 2016, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. (www.kaskus.co.id). Kondisi seperti itu tidak banyak berubah hingga tahun kemarin. Menurut survei yang dilakukan oleh organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara di dunia pada level literasi baca.
SEJARAH BUKU
Keterkaitan buku dan keadaban manusia, tampak nyata dalam sejarah buku. Dalam bukunya What is the history of book (2018), James Raven mencatat studi tentang sejarah buku baru muncul tahun 1980-an. Meski demikian, studi tersebut berhasil menggiring para ahli untuk menggali akar keberadaan buku ke beberapa abad silam. Bahkan studi tersebut menginspirasi mereka untuk mempelajari kegiatan produksi, penyebaran dan penerimaan teks dalam berbagai bentuk material, di berbagai masyarakat, pada pelbagai jaman.
Diketahui ‘buku’ dalam format lempengan tanah liat telah hadir dan berperan dalam peradaban manusia, sejak tahun 3000 seb.M. Penggalian arkeleogi di Nineveh, ditemukan lebih dari 20.000 ‘buku’ yang berasal dari abad ke-7 seb.M. ‘Buku-buku’ diindikasikan sebagai arsip dan perpustakaan raja-raja Asyur.
Kemudian, pada awal millennium kedua, bangsa Mesir Kuno menggunakan papirus sebagai media untuk menulis naskah. Buku papirus berupa gulungan dari beberapa lembar lembaran bulu yang ditempel bersama, dengan total panjang 10 meter atau lebih. Buku papirus tertua berkisah tentang Raja Neferirkare Kakai dari Dinasti Kelima (sekitar 2400 SM). Sekitar abad ke-3 SM.papirus diganti dengan ‘perkamen’ yang terbuat dari kulit binatang seperrti domba, sapi, atau keledai. Perkamen terbukti lebih solid, dan lebih efisien karena teks yang tertulis padanya dapat dihapus. Tapi, media media ini sangat mahal karena bahan bakunya langka.
Pada abad ke-1 seb.M, bangsa Cina menggunakan tulang, cangkang, kayu dan sutera sebagai media tulisan. Mulai abad ke-3 M. bangsa Mesoamerika menghasilkan kodeks, yaitu buku yang ditulis ‘kertas’ yang terbuat dari serat kulit tumbuhan atau kulit binatang, yang kemudian dilipat dan dilindungi oleh kotak kayu. Kodeks memuat informasi astrologi, kalender agama, pengetahuan tentang dewa, dan silsilah penguasa.
Sejak ditemukan mesin cetak pada tahun 1450-an, buku mencapai formatnya sebagaimana kita kenal sekarang Buku ditulis lalu dicetak untuk selanjutnya dijilid dengan bentuk yang mudah untuk disebarkan ke publik. Selama lima abad, buku cetak bertahan. Baru pada tahun 1971 Project Gutenberg memperkenalkan buku dalam format baru:,e-book atau buku digital.
Sejalan dengan kemajuan teknologi digital, pembaca mulai beralih dari buku cetak ke e-book. Pergeseran itu berdampak langsung pada industri buku cetak. Joe Biel, pendiri dan co-owner Microcosm Publishing menyatakan, tahun 2018, hanya sekitar 365 juta buku cetak baru terbit, tapi sekitar 1,1 juta e-book baru terbit.. ( https://www.quora.com).
MEMBUDAYAKAN BUKU

Umat manusia tidak bisa mengabaikan pentingnya buku dalam kehidupannya. Oleh karena itu budaya membaca harus dipromosikan di masyarakat kita. Kita harus melakukan ini dengan memperkenalkan buku kepada anak-anak ketika mereka masih kecil. Ini akan menanamkan budaya membaca kepada generasi masa depan kita.
Makanya, sangat dianjurkan agar setiap kita, baik individu, keluarga, komunitas, maupun organisasi/ perusahaan selalu memiliki buku yang tersedia, baik dalam bentuk soft maupun hard copy. Barangkali ‘menghabiskan satu buku dalam seminggu’ tak semua kita bisa. Namun, sebaiknya, setiap kita membiasakan diri untuk membaca satu atau dua bab setiap kali ada punya waktu luang. Bahkan, kita juga dapat mendengarkan audio sembari membaca. Jangan membatasi diri pada satu genre tertentu. Sebab, ada jutaan buku di duni.
Jika, kita terbiasa membaca, maka kita pun bisa menulis buku. Dengan menulis buku, kita terlibat membangun dan mewarnai peradaban. Memang, tekonologi digital menyebabkan lanskap buku banyak berubah. Tapi, peran buku sebagai ekpresi kebebasan dan hak cipta, tetap penting.
Buku adalah media untuk mengkomunikasikan informasi dan gagasan yang menentukan arah kemajuan peradaban manusia. Buku adalah juga jalan menuju kebebasan. Mungkin itu sebabnya, Proklamator RI, Mohammad Hatta pernah berujar, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”***
PLN Sediakan 20 SPKLU ultra Fast Charging Dukung KTT G20 di Bali