Tahun 1945-1950 dikenal sebagai periode perjuangan fisik. Sejak tahun 1950 sampai terlaksananya hasil Pemilihan Umum tahun 1955, keadaan negara, terutama kota Jakarta, dilanda sebuah gejolak. Keadaan serba tidak stabil. Namun, modal utama untuk bisa memperbaiki keadaan tersebut adalah semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan terus bergelora. Dalam iklim demikian, roda pemerintahan harus ditumbuhkan dan perlahan disempurnakan. Periode di atas dapat dikatakan masa “berbenah”.
Pada November 1953 seorang bernama Sudiro ditunjuk untuk menjadi Kepala Daerah Kotapraja Jakarta Raya. Sebelumnya, dia sempat menjabat sebagai Gubernur Sulawesi, dimulai pada Juli 1951. Menteri Dalam Negeri, Prof. Dr. Mr. Hazairin memintanya untuk menjadi Kepala Daerah Jakarta Raya, kemudian disetujui oleh Presiden RI Ir. Soekarno.
Sebagaimana seorang walikota, Sudiro sangat memperhatikan soal-soal yang tampaknya kecil dan remeh tanpa mengabaikan hal-hal yang besar. Dia seringkali mengadakan dialog dengan rakyat jelata. Sudiro kemudian menggagas istilah “Wisma-Karya-Marga-Suka” (tempat tinggal, lapangan pekerjaan, perhubungan, dan hiburan) dalam menangani persoalan ibu kota waktu itu.
Di sisi lain, persoalan mendasar bagi pemerintah saat itu adalah soal anggaran. Pemerintah Daerah Kotapraja Jakarta Raya berupaya keras untuk menambah pendapatan daerah, karena pengeluaran terus meningkat, padahal subsidi dari pemerintah pusat sangat terbatas.
Ketika itu, sumber penghasilan Kotapraja sendiri belum dapat menutup anggaran pengeluaran, maka setiap tahun Kotapraja Jakarta Raya menerima subsidi dari Pemerintah Pusat dengan sistem “sluit post”, artinya: defisit pada tiap tahun ditutup oleh Pusat. Oleh sebab itu, maka dalam melaksanakan tugasnya, Kotapraja tidaklah bebas untuk membuat pengeluaran menurut kehendaknya sendiri.
Semakin tahun, pengeluaran pemerintah Kotapraja Jakarta Raya semakin tinggi. Sebagai gambaran, pada tahun 1953 anggaran belanja mencapai Rp70.905.430, sementara subsidinya Rp33.090.656.
Walaupun anggaran belanja selalu “defisit”, tetapi Kotapraja harus banyak yang dibenahi dan dilakukan. Lebih-lebih bila mengingat kedudukan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan; sebagai pusat kegiatan politik waktu itu; pusat para perwakilan asing berdomisili, dan kasus Iainnya lagi yang menyebabkan Jakarta Raya memang terpaksa harus “lain dari yang lain”. Kegiatan serta pembangunan itu mengenai berbagai macam dan segi
Maka timbul pikiran untuk menggali sumber-sumber keuangan baru yang tidak membebankan rakyat banyak. Gagasan yang saat itu terpikir di benak Sudiro adalah mengadakan “toll-road” di Indonesia, yaitu semacam pajak bagi kendaraan bermotor yang menggunakan jalan atau jembatan tertentu. Gagasan ini terus terang bukanlah “baru”. Sebab, sekitar tahun 1955 oleh Sudiro bersama Badan Pemerintah Harian Kotapraja Jakarta Raya, hal tersebut diusulkan pada DPRD(S). Waktu itu jalan raya ke Kebayoran Baru, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Jenderal Sudirman, sedang dibuat dengan anggaran yang besar sekali jumlahnya.
Di jembatan panjang, pada ujung jalan M.H. Thamrin itulah, diusulkan untuk didirikan tempat guna pemungutan “toll” bagi tiap kendaraan bermotor yang lewat di situ. Usul ini ditentang keras oleh DPRD(S).
Ada anggota yang menyatakan, bahwa “toll” itu akan menghambat lalu lintas saja! Ada lagi yang menyatakan, bahwa “toll” itu adalah pajak, yang sudah “kuno”. Itu warisan “zaman baheula, zaman kuno”, demikian anggota DPRD(S) tersebut. Padahal, tatkala Sudiro sendiri pada tahun 1961 naik mobil dari New York ke Washington, di tempat tertentu diharuskan membayar “toll”. Apakah dengan demikian di USA hingga saat ini “toll” itu juga dianggap sebagai “pajak kuno”?
Yang jelas saja di sana pungutan “toll” itu sama sekali tidak menyebabkan kemacetan lalu lintas. Para pengendara mobil, beberapa ratus meter sebelum tempat pemungutan “toll”, sudah menyiapkan uang, yang harus dibayarkannya. Tentang “uang kembali”, di sana rupanya tidak pernah menjadi masalah; meskipun di jalan “toll” Jagorawi terpancang tulisan “Harap bayar dengan uang pas”.
Dua Ruas Tol Balikpapan-Samarinda Gratis selama Dua Minggu