Humaniora

Transformasi Untuk Menjawab Peluang Dan Tantangan Zaman



single-image

Suatu hari di tahun 1996. Pada sebuah makan malam yang syahdu. Para pemimpin perusahaan berkumpul dalam forum bisnis. Seorang masterpiece dalam bidang penelitian korporasi, Jim Collins, berdiskusi dengan Bill Meehan, managing director dari Mckinsey & Company yang berpusat di San Fransisco. Bill memuji riset yang dilakukan oleh Jim.

“Kamu tahu Jim, kami semua yang ada di sini menyukai apa yang kamu lakukan selama ini, terutama riset yang kamu bukukan dengan judul Built to Last” lalu Bill melanjutkan pembicaraannya “tapi apakah kamu tahu? Riset yang kamu lakukan tidak berguna” ketus Bill.

Jim kaget dengan pernyataan yang diutarakan oleh Bill, kemudian ia meminta Bill untuk menjelaskan apa maksud dari pernyataan tersebut.

Bill mencoba untuk menjelaskan maksudnya “perusahaan yang kamu tulis dalam buku itu adalah perusahaan yang bagus, tapi sayangnya perusahaan itu belum beralih dari bagus menjadi perusahaan yang istimewa”

Jim coba untuk mengerti maksud dari pernyataan Bill, bahwa yang dimaksud dengan “tidak berguna” oleh Bill adalah sebuah analisis penting yang sahih bahwa banyak sekali perusahaan yang bagus, tapi karena mereka sudah merasa bagus, perusahaan itu banyak yang tidak bisa menjadi perusahaan yang istimewa.

Sepulang dari acara tersebut, berbekal diskusinya bersama Bill, Jim mulai memikirkan, apakah perusahaan yang bagus bisa menjadi perusahaan yang istimewa? Atau selamanya perusahaan yang baik hanya menjadi baik saja?

Akhirnya 5 tahun setelah pertemuan itu, karena terinspirasi dari diskusinya bersama Bill Meehan, Jim dan tim risetnya melakukan suautu kajian untuk mengungkap apa rahasia yang membuat perusahaan baik bisa menjadi perusahaan yang istimewa? Untuk penelitian itu Jim mengidentifikasi perusahaan yang melakukan lompatan besar dari perusahaan yagn bagus menjadi istimewa dalam rentang waktu 15 tahun.

Kemudian Jim melakukan perbandingan dengan perusahaan yang gagal melakukan lompatan besar, atau perusahaan yang hanya bertahan menjadi perusahaan yang bagus saja. Hal itu diakukan untuk menemukan faktor pembeda yang membuat perusahaan yang satu bisa menjadi istimewa dan yang lain tidak.

Lalu apa kunci sukses perusahaan yang berhasil meningkatkan levelnya dari perusahaan yang bagus menjadi perusahaan yang istimewa? Ternyata kata kuncinya adalah transformasi. Ya, perusahaan itu melakukan transformasi untuk membuat terobosan yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Kemudian menerapkan kedisiplinan dalam setiap aktivitasnya yang meliputi kedisiplinan manusianya, pemikiran, dan pelaksanaan.

Hanya dengan transformasi kita dapat menjewab semua peluang dan tantangan zaman yang senantiasa setia pada perubahan. Dalam lingkuangan bisnis, dinamika perubahan meliputi banyak hal terutama bagaimana suau perusahaan dapat memprediksi arah angin sebelum ia bergerak. Itu akan memungkinkan suatu perusahaan bisa melakukan perubahan sebelum perubahan itu terjadi, sehingga langkah dan keputusan yang diambil tidak salah sasaran.

ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN ZAMAN

Masa depan manusia ada pada ketidakpastian. Terlebih abad ini telah banyak sekali perubahan yang terjadi dalam sejarah. Beberapa ilmuan menulis fenomena besar yang terjadi pada abad ini dengan nada yang pesimistis. Francis Fukuyama menyatakan bahwa munculnya demokrasi liberal Barat dapat merupakan pertanda titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk akhir pemerintahan “The End of History” (1989).

Setelah itu, David Lindley, seorang editor majalah science menulis sebuah buku berjudul The End of Physics (1993). Satu tahun setelahnya seorang ekonom asal Inggris, David Simpson menulis buku The end of Macroeconomics (1994) yang mengatakan bahwa ilmu makroekonomi telah kadaluarsa. Tidak hanya itu, John Horgan membuat buku yang provokatif berjudul The End of Science (1997).

Pada tahun yang sama, pemenang Nobel kimia, Ilya Prigogine, menulis sebuah buku berjudul The End of Uncertainty (1997), ia mengatakan bahwa yang saat ini dianggap sebagai kebenaran ilmiah bisa jadi di masa depan dianggap sebagaimitos ilmiah. Sesuatu yang sungguh sangat menakutkan dalam rasionalisme manusia yang sangat mengedepankan nalar. Di sisi lain, relativisme merebak seperti sifat yang melekat dalam kehidupan posmodernisme.

Begitu banyak pesimisme yang dituangkan dalam menuliskan fenomena yang terjadi. Hampir seluruh diskursus kehidupan mengalami prediksi negatif. Dunia bisnis juga mengalami situasi sulit dari perubahan. Eksesnya adalah perubahan konseptualisasi dan dinamika di dalamnya tentang bagaimana perusahaan harus beroperasi. Namun, tetap ada peluang yang harus kita bangun dari kondisi yang tidak menguntungkan itu.

Keadaan demikian dikatakan oleh Jagdish N. Sheth dalam buku Firms of Endearment sebagai the Age of Transcendence yang artinya “state of excelling or surpassing or going beyond usual limits,” dengan kata lain bahwa keadaan yang ada pada zaman terjadi melebihi atau melampaui ambang batas biasa. Perubahan yang cepat menyebabkan apa yang terjadi selalu lebih cepat dari apa yang diprediksi.

Disinilah letak kritik dari perubahan yang sejatinya merupakan tantangan bagi setiap perusahaan untuk terus bertransformasi. Karena perubahan bisa datang kapan saja dan dalam kondisi apapun, perusahaan harus memiliki responsiveness dalam melakukan perubahan untuk terus hidup dan berkembang.

Responsiveness juga menjadi bukti bahwa perusahaan memiliki kepekaan yang cukup tinggi untuk menangkap sinyal-sinyal perubahan, tidak gampang memang memiliki sinyal seperti itu, karena perubahan itu seringkali terjadi sangat sublim atau dalam kondisi yang sangat halus. Perubahan seringkali ditransmisikan oleh berbagai dinamika sosial, atau barangkali berbagai teknologi yang terjadi. Perusahaan yang hebat harus punya radar untuk menangkap sinyal itu.

Mengacu pada pemikiran Alvin Toffler perubahan biasanya memiliki sifat umum yang membawa dia pada arus tertentu. Teknologi adalah salah satunya. Bukan saja soal bagaimana manusia menciptakan alat baru yang mutakhir, tapi bagaimana teknologi ini menggiring manusia merubah gaya hidupnya. Misalkan saja teknologi gadget yang merubah gaya hidup orang dalam berkomunikasi, atau teknologi otomotif yang merubah gaya hidup orang dalam bermobilisasi. Jadi teknologi akan menggiring perubahan sosial.

Dengan berubahnya gaya hidup, maka terjadilah perubahan budaya, lalu menjadi perubahan paradigma berpikir konsumen. Peralihan tahap demi tahap perubahan itu sangat halus, jika suatu perusahaan salah dalam menangkap sinyal itu, maka tren bisnisakan terlewati begitu saja. Peluang terbuang sia-sia

Kata kunci dari responsiveness tidak cukup hanya melakukan adaptasi, tapi bagaimana perusahaan bisa mengantisipasi. Jika dalam pertandingan bola, kita sering melihat seorang keeper melakukan antisipasi kemana arah bola akan dilesatkan, kemudian ia selalku memposisikan diri untuk melakukan gerakan, maka dalam bisnis dapatkah kita melakukan hal itu? Sebelum perubahan terjadi kita harus sudah tahu kemana arah perubahan itu akan berjalan.

Perubahan dalam perusahaan layak disebut dengan transformasi. Sebaik-baik perubahan adalah yang dilakukan sebelum perubahan itu terjadi, bersifat prediktif dan antisipatif. Namun ada pula perubahan yang terjadi secara kuratif, yaitu perubahan yang baru dilakukan setelah perubahan itu terjadi. Perubahan yang sifatnya antisipatif jauh lebih sulit ketimbang perubahan yang kuratif. Ini disebabkan dalam perubahan yang antisipatif perusahaan dituntut untuk terus waspada dan mengamati kemana angin bisnis itu mengarah. Lalu bagaimana mengejarnya.

Pada banyak kasus, perusahaan yang melakukan transformasi bisnis secara kuratif biasanya dihadapkan dengan situasi dimana mereka merasa dalam keadaan yang terdesak, lingkungan bisnis yang berubah membuat mereka merasa harus bertransformasi.mereka merasa tidak memiliki pilihan lain.  Bisa dibilang perubahan seperti ini adalah perubahan yang terlambat, tapi juga tidak buruk, daripada tidak sama sekali.

BELAJAR DARI ASTRA

Di Indonesia, salah seorang pengusaha yang berhasil membaca angin perubahan adalah Wiliam Soeryadjaya. Berkat responsiveness dalam memprediksi peluang dari perubahan arah angin, Astra bisa besar seperti sekarang ini. Pada akhir tahun 1960-an, William mengamati perubahan angin politik dari Orde Lama yang mengusung jargon politik sebagai panglima ke kepemimpinan Orde Baru yang mengusung orientasi bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas.

William lalu memanfaatkan kesempatan ini dengan membidik bisnis alat berat dan otomotif. Radar intuisinya dalam membaca peluang langsung membaca bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan adanya pembangunan infrastruktur untuk mendorong laju pertumbuhan yang tinggi. Ketersedian infrastruktur seperti pelabuhan, jalan raya, stasiun, lapangan udara mutlak dibutuhkan. Otomatis untuk membangun infrastruktur bibutuhkan alat berat dalam proses konstruksinya.

Sedangkan prediksinya terhadap bisnis otomotif waktu itu adalah pertumbuhan ekonomi akan mendongkrak penghasilan penduduk dan meningkatkan mobilitas kerja mereka, dan itu berarti membutuhkan sarana transportasi berupa kendaraan bermotor. Dalam menjalankan roda bisnisnya, Willian juga hebat dalam membaca tanda-tanda zaman lainnya, ia lebih memilih produk otomotif Jepang daripada Eropa.

Jepang saat itu sedang naik daun meski lajunya belum bisa menyalip industri otomotif Eropa, tapi perlahan Jepang mulai menunjukkan tanda-tanda keunggulannya, Jepang berhasil menawarkan insentif tersendiri, walaupun kualitasnya masih di bawah produk Eropa, misalkan harga yang lebih bersahabat. Terbukti dengan kepiawaiannya memprediksi arah angin perubahan, Astra bisa menjadi perusahaan yang besar.

Padahal dulunya Astra memulai usahanya (20/02/57) dalam bidang penjualan produk-produk pertanian (agricultural product), seperti minyak sereh, minyak kenanga,rempah-rempah, dan sebagainya. Tapi Astra menunjukkan kelasnya dengan berhasil membaca peluang dan tantangan zaman.

Berita Lainnya