JAKARTA: Tiga wartawan senior melakukan reuni dengan cara menulis buku. Mereka adalah Lahyanto Nadie, Sutan Eries Adlin dan Maximus Ali Perajaka yang menghasilkan karya Mencari Keadilan Subsidi Listrik, diterbitkanoleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), diluncurkan pada hari bersejarah 28 Oktober 2019.
Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto berpendapat bahwa pengadaan dan ketersediaan listrik sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan di dalam negeri.
Salah satu penyebab kemiskinan kan adalah rendahnya akses terhadap infrastruktur dasar, selain pendidikan dan kesehatan. “Listrik masuk dalam aspek infrastruktur dasar ini,” katanya Rabu, (9 Oktober 2019) di kantor Wakil Presiden, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Menurut dia, tingkat elektrifikasi di Indonesia baru mencapai sekitar 94% dan untuk memenuhi hingga 100 persen bukan perkara mudah.
Daerah-daerah yang belum menikmati listrik secara menyeluruh di Indonesia merupakan kawasan-kawasan dengan tingkat kemiskinan sangat tinggi, katanya.

Ada beberapa lokasi seperti di Maluku atau Kalimantan Tengah tingkat kemiskinannya mencapai sekitar 20%. “Itu di atas rata-rata daerah lain yang hanya sembilan persen,” pungkasnya.
Fakta-fakta yang berserakan di lapangan kemudian dikumpulkan oleh tiga wartawan senior dan ditulis menjadi buku. “Inilah cara unik kami melakukan reuni dengan cara menulis buku, agar lebih banyak manfaatnya,” kata Lahyanto.
Buku Mencari Keadilan Subsidi Listrik, menjelaskan tentang peran TNP2K dalam berupaya menekan kemiskinan melalui kebijakan subsidi listrik yang tepat sasaran.
Lahyanto menjelaskan bahwa hasil studi Tim Nasional Penanggulangan Percepatan Kemiskinan/TNP2K (2015) memperlihatkan bahwa hanya 26% subsidi listrik yang dinikmati oleh masyarakat kelompok miskin dan rentan miskin, sedangkan sisanya, 74%, dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya (kelas menengah-atas), yang sebenarnya tidak patut menerima subsidi. Beban subsidi listrik yang ditanggung pemerintah untuk masyarakat miskin hanya Rp64.000 per bulan, sedangkan subsidi yang diterima oleh 10% masyarakat kaya bisa mencapai Rp168.000 per bulan.
DAMPAK SOSIAL
Eries Adlin menjelaskan bahwa ketidakadilan di bidang ketenagalistrikan telah menimbulkan dampak negatif yang kompleks. Selain menimbulkan beban fiskal yang merongrong program pembangunan secara umum, subsidi listrik yang tak tepat sasar secara tak disadari telah menimbulkan persepsi keliru tentang konsep keadilan sosial di sejumlah kalangan masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis LSM.
Makanya, ketika ada kebijakan pemangkasan subsidi listrik, atas nama demokrasi mereka lantas berteriak (berdemo) bahwa pemerintah telah berlaku tidak adil terhadap rakyat kecil. Padahal, secara faktual (hasil studi TNP2K) yang justru lebih banyak menikmati subsidi listrik adalah sekelompok kecil warga kelas menengah-atas.
Dalam pandangan Maximus Ali Perajaka, infrastruktur dan akses ke ketenagalistrikan yang tak merata berpotensi melanggengkan kemiskinan, kebodohan dan tingkat kesehatan yang rendah. Ia kemudian menyitir pendapat peraih hadiah nobel bidang ekonomi 1998, Amartya Sen, Louis Pouliquen dalam papernya Infrastructur and Poverty ( 01/12/2000) mengemukakan bahwa akar masalah dari kemiskinan adalah hak dan kapasitas. “Dalam hal infrastruktur, hak diterjemahkan menjadi akses.”
Bagi orang miskin, yang menjadi masalah utama bukanlah per se tetapi lebih pada karena kurangnya akses ke infrastruktur itu. Apa gunanya infrastruktur ketenagalistrikan jika mereka tidak memiliki akses untuk mendapat listrik? Dalam perspektif demikian, maka dapat dipahami bahwa sekalipun infrastruktur ketenagalistrikan sudah semakin memadai (sekitar 80%), sejumlah pronvisi di Indonesia masih terpasung dengan angka kemiskina yang tinggi.
Data Badan Pusat Statistik/BPS (15 Juli 2019) mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di provinsi Papua misalnya mencapai 27,53%, Papua Barat (22,17%), NTT (21,09%), Maluku (17,69%), Gorontalo (15,52%), Aceh (15,32%), Bengkulu (15,23%), dan NTB (14,56%).
1 Comment